Panji Gumilang Ditangkap, Negara Ingkar Janji atas Konstitusionalitas Kemerdekaan Beribadat

Loading

Oleh: Petrus Selestinus

 

PIMPINAN Pondok Pesantren Al Zaytun Syekh Panji Gumilang telah ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama (pasal 156a KUHP) oleh Bareskrim Polri pada tanggal 1 Agustus 2023 dan seketika itu juga dilakukan penangkapan dan penahanan selama 20 hari di Rutan Bareskrim Polri.

Penetapan status tersangka dan penahanan Syekh Panji Gumilang, tidak saja menggegerkan dunia pendidikan Pondok Pesantren akan tetapi juga publik, karena Pondok Pesantren Al Zaytun merupakan Pondok Pesantren terbesar di Asia Tenggara dengan jumlah murid puluhan ribu dan kekayaan triliunan rupiah.

Banyak pihak mempertanyakan apa dasar tuduhan penistaan agama dialamatkan kepada Syekh Panji Gumilang. Jika dasar tuduhannya terletak pada beda tafsir tentang pelaksanaan ibadat agama yang dinilai tidak sesuai dengan akidah Islam, maka pertanyaannya ke mana peran Negara sebagai  penjamin kemerdekaan beribadat sesuai janji UUD 1945.

Apakah karena berbeda pelaksanaan ibadat agama dan kepercayaannya itu, lantas Syekh Panji Gumilang dikategorikan sebagai telah menista agama. Sementara UU No.18 Tahun 2019, tentang Pesantren membuka ruang bagi Pesantren untuk tumbuh dan berkembangnya tradisi dan kekhasan di setiap Pesantren.

Keberadaan Pondok Pesantren Al Zaytun di tengah masyarakat dengan kekhasan dan tradisinya telah berkontribusi penting dalam mewujudkan Islam yang rahmatan lil’alamin, melahirkan insan yang beriman, berkarakter, berkemajuan dan cinta tanah air berdasarkan tradisi dan kekhasannya sesuai dengan UU Pesantren.

Kemana Peran Negara

Konstitusionalitas komitmen negara menjamin kemerdekaan menjalankan ibadat agama bagi tiap-tiap pemeluknya, justru “absen” malahan Negara dapat dinilai sebagai pelaku dalam membatasi kemerdekaan melaksanakan ibadat agama, dengan menuduh Syekh Panji Gumilang, pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun sebagai penista agama.

Negara tidak boleh bertindak sebagai pihak yang mengekang kemerdekaan beribadat terhadap Syekh Panji Gumilang, sebab sebagai pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun, Syekh Panji Gumilang dipastikan menjalankan visi UU No. 18 Tahun 2019, tentang Pesantren dengan tradisi dan kekhasan yang ditumbuhkembangkan Pondok Pesantren Al Zaytun dalam menciptakan insan beriman, berkarakter dan cinta tanah air.

Dalam kasus Syekh Panji Gumilang, komitmen Negara “menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya,” itu dipertanyakan publik apakah Syekh Panji Gumilang sedang dikriminalisasi melalui politisasi hukum.

Pertanyaan publik sangat logis, karena kebebasan memeluk agama dan kemerdekaan tiap penduduk untuk melaksanakan ibadat agamanya, harus berada dalam satu nafas, berjalan seiring dalam kesetaraan, tidak boleh hanya satu diberikan dan dijamin sementara yang lain diabaikan, dibatasi atau diingkari.

Artinya ketika negara menjamin kebebasan memeluk agama, maka pada saat yang sama negara harus konsisten menjamin pula kemerdekaan melaksanakan ibadat agama sesuai amanat UUD 1945, karena. kedua-duanya tidak boleh dipisahkan atau saling meniadakan, harus seiring, setara dan sejalan dalam bobot pelaksanaannya.

Ingkari Komitmen Negara

Tidak beralasan hukum bagi Bareskrim Polri melakukan tindakan kepolisian terhadap Syekh Panji Gumilang atas alasan “penistaan agama” ketika pelaksanaan ibadat agama terdapat ritual yang berbeda sebagai sebuah tradisi dan kekhasannya.

Apa yang dilakukan oleh Syekh Panji Gumilang berbeda dengan yang dilakukan kelompok lain atau sebaliknya kelompok lain berbeda dengan Syekh Panji Gumilang dan Pondok Pesantren Al Zaytun, itu adalah suatu keniscayaan konstitusi yang menjamin kemanjemukan tradisi.

UU No. 18 Tahun 2019 Tentang Pesantren, menegaskan bahwa Pesantren yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat dengan kekhasannya telah berkontribusi penting dalam mewujudkan Islam yang rahmatan lil’alamin, melahirkan insan beriman yang berkarakter, cinta tanah air serta berkemajuan berdasarkan tradisi dan kekhasannya.

Sebagai sebuah Pondok Pesantren, maka Pondok Pesantren Al Zaytun berhak menumbuhkembangkan kekhasan dan tradisinya yang berkarakter toleran dan bervisikan perdamaian yang tentu berbeda dengan tradisi, kekhasan dan karakter Pondok Pesantren lainnya, sebagai bagian dari dinamika perkembangan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Agama dalam kehidupan dunia Pesantren moderen.

Pada tahap ini tindakan kepolisian Bareskrim Polri dapat dinilai bertolak belakang dengan posisi Negara sebagai penjamin kemerdekaan melaksanakan ibadat agama, di sini kebebasan memeluk agama dan kebebasan beribadat menurut agama telah diciderai oleh tindakan kepolisian yaitu menetapkan status tersangka dan menahan Syekh Panji Gumilang.

Kemerdekaan Ibadat Satu Nafas

Antara kebebasan memeluk agama dan kebebasan melaksanakan ibadat menurut agama dan keyakinan kepercayaan, keduanya harus berada dalam satu nafas dan dalam satu kesatuan sikap yang tidak dipisahkan, karena menyangkut pikiran dan sikap sesuai hati nurani pelaksananya.

Ketika seorang melaksanakan ibadat agamanya tanpa dihalangi oleh siapapun, itu berarti kebebasan memeluk agamanya dijamin Negara dan sebaliknya manakala seorang melaksanakan ibadat agamanya dihalangi, itu berarti kebebasan memeluk agamanya bermasalah dan di situlah Negara harus hadir demi menjamin pelaksanaan ibadat agamanya itu.

Karena itu, ketentuan pasal 28E dan pasal 29 ayat (2) UUD 1945, tidak boleh ditafsir lain selain dimaknai sebagai pengakuan atas kebebasan memeluk agama (sebagai hak) dan  kemerdekaan  melaksanankan ibadat (sebagai jaminan atas hak) oleh Negara  bagi masing-masing pemeluk agama, tidak boleh dikurangi apalagi ditiadakan.

Syekh Panji Gumilang telah dikenakan pasal berlapis yaitu pasal 156a KUHP tentang penistaan agama, berita bohong dan ujaran kebencian sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo. pasal 45A ayat (2) jo. pasal 28 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Ada apa di balik ini semua, mari kita lihat perjalanan proses hukum ke depan sampai selesai pembuktian di Pengadilan secara terbuka dan adil. (Penulis adalah  Koordinator TPDI & Advokat Perekat Nusantara, tingal di Jakarta).

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS