Pancasila Harga Mati

Loading

Laporan: Redaksi

Ilustrasi

Ilustrasi

JAKARTA, (Tubas) – Kalangan elite politik sebagai pemegang kekuasaan sekaligus pengambil keputusan di lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif, tidak lagi terlalu peduli kepada apa yang diwariskan oleh para negarawan yang menjadi bapak bangsa, seperti Bung Karno, dengan nation and character building. Oleh karena itu, para elite politik hendaknya kembali ke jati diri bangsa, yakni mengamalkan Pancasila.

Demikian pandangan pengamat hukum Sudjanto S, SH, SE, MM, yang diwawancarai berkaitan dengan Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 tentang Pancasila, Rabu (1/6/2011), di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, serta keinginan berbagai pihak agar Pancasila kembali dimasukkan dalam kurikulum pendidikan.

Tim tubasmedia.com juga mewawancarai sejumlah kalangan, antara lain, pemuda, mahasiswa, pimpinan organisasi, dan rakyat biasa. Pada intinya, mereka mendukung Pancasila kembali menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah.

Mereka berharap agar para elite politik sesegera mungkin kembali ke akar budaya, sehingga norma kepatutan di tengah kemajemukan masyarakat bisa dijadikan sebagai perekat bangsa yang bhineka tunggal ika.

Secara terpisah, Rektor Universitas Indonesia Gumilar Rusliwa Sumantri mengingatkan, ideologi Pancasila menjadi modal awal menciptakan generasi muda menjadi insan yang terpadu di dalam dunia pendidikan. “Pancasila harga mati, tidak bisa ditawar. Wong adanya negeri, dan universitas ini, karena adanya Pancasila dan UUD 45,” katanya.

Pendidik Dra Riana Sriyati M.Si, mengatakan, pelajaran Pancasila sangat berperan dalam penegakan budi pekerti dan moral bangsa, khususnya di kalangan pelajar. Oleh karena itu, pendidikan Pancasila sangat penting.

Heru B Samiaji SH, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Pancasila (LBH Pancasila), mengatakan, hanya Indonesia yang benar-benar mempunyai filosofi yang begitu luhur. Apabila nilai luhur Pancasila selalu ada di hati sanubari, maka perbedaan pendapat tidak akan terjadi. Juga tidak akan terjadi korupsi, pertengkaran, dan perselisihan.

Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur Suhartoyo SH mengatakan, sebagai penegak hukum setiap hari kita selalu berpedoman kepada Pancasila, dari sila pertama sampai sila kelima. Apabila kita akan memutus perkara, kita selalu bermusyawarah terlebih dahulu dengan hakim anggota, berdasarkan hati nurani tentunya didukung oleh bukti-bukti dan memutus berdasarkan hukum. Yang jelas sila-sila Pancasila saling terkait dalam kehidupan sehari-hari.

Ricko (22), mahasiswa, mengatakan, kurang mengerti mengenai keberadaan Pancasila sebagai dasar filosofi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Terus terang saya lupa dan kurang mengerti tentang itu semua, karena hanya saat di sekolah dasar (SD) terakhir saya mempelajari hari-hari besar bangsa Indonesia. Itu pun terkadang ketika jam mata pelajaran sejarah dan selebihnya tidak ada pelajaran yang bersinggungan langsung dengan sejarah perjuangan,” ujarnya.

Anggota DPRD yang juga Wakil Wali Kota Depok terpilih, Drs. KH. Idris Abdul Somad, mengatakan, saat ini pemahaman akan pentingnya nilai-nilai historis suatu bangsa dan pengertian akan hari-hari besar memang mulai berkurang. “Tetapi, saya rasa masyarakat tidak mungkin melupakan kegigihan dan pengorbanan para pejuang,” ujarnya.

Tengah Tersandera

Sementara itu, dalam pidatonya pada Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, Rabu, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, presiden ketiga BJ Habibie mengungkapkan, dia tidak melihat Pancasila benar-benar diamalkan oleh komponen bangsa. Acara peringatan itu dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri, serta para mantan wakil presiden, seperti Jusuf Kalla dan Try Sutrisno.

“Enam puluh enam tahun lalu, tepatnya 1 Juni 1945, di depan sidang yang mengusahakan kemerdekaan bangsa Indonesia, Bung Karno menyampaikan pandangannya mengenai dasar-dasar negara dengan istilah Pancasila sebagai filosofi bangsa. Sejak 1998, kita memasuki reformasi,” kata Habbie dengan lantang.

Habibie mengatakan, saat ini Pancasila tengah tersandera dalam lorong yang sunyi disebabkan oleh proses globalisasi dalam berbagai aspek. Selain itu, dalam pandangannya, penuntutan hak asasi manusia tak diikuti dengan pelaksanaan kewajiban asasi manusia.

Ia mengatakan, hilangnya Pancasila menyebabkan munculnya berbagai tindakan radikalisme dan kekerasan atas nama suku, agama, ras, budaya dan afiliasi politik. “Reformasi telah terjadi di segala bidang, akan tepat jika kita renungkan kembali nilai-nilai Pancasila. Di bangsa yang majemuk ini justru semakin terlihat tumbuh radikalisme, kekerasan yang mengatasknamakan agama yang marak terjadi. Sikap intoleransi dan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan menjadi kontraproduktif dengan bangsa kita yang multikultural. Tindakan teror menunjukkan budaya semakin tipis dan luluhnya Pancasila dalam menghargai perbedaan,” tutur Habibie.

Habibie mengajak semua tokoh masyarakat, kaum cendekiawan dan rakyat Indonesia untuk kembali menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila yang dinilainya telah terkikis. Ia beharap ada ruang publik yang dibuka untuk membuka komunikasi yang luas di antara masyarakat, agar perbedaan tak menjadi halangan bagi bangsa untuk maju.

Gagasan Cemerlang

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara merupakan gagasan cemerlang Bung Karno. Untuk menjawab tantangan kini dan masa depan, Pancasila harus kita revitalisasi dan aktualisasikan.

Dalam pidatonya pada Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, Presiden Yudhoyono menyampaikan dua pandangan. Pertama, sebagai refleksi kesejarahan dan kontemplasi untuk mengingat kembali gagasan cemerlang dan pemikiran besar Bung Karno. Kedua, mengaktualisasikan pemikiran besar tersebut guna menjawab tantangan dan persoalan yang kita hadapi di masa kini dan masa depan.

Presiden juga menyampaikan hal terkait revitalisasi Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, sekaligus rujukan dan inspirasi dalam upaya menjawab berbagai tantangan kehidupan bangsa. “Saya yakin rakyat bersetuju Pancasila harus kita revitalisasikan dan aktualisasikan,” katanya.

Ia mengedepankan satu hal besar yang juga digagas Bung Karno 66 tahun yang lalu, yaitu pentingnya menegakkan dan menjalankan Negara Pancasila. “Di samping Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila, juga mesti dimaknai Indonesia bukan negara yang berdasarkan yang lain-lain,” kata Presiden.

“Sejak awal, pendiri republik dengan arifnya, disertai pemikiran yang luas dan menjangkau ke depan, telah membangun konsensus yang bersifat mendasar. Yaitu, Indonesia adalah negara berketuhanan, negara yang ber-Tuhan dan sekaligus negara nasional. Jadi bukan negara agama,” SBY menjelaskan. (tim)

CATEGORIES
TAGS