Musyawarah untuk Mufakat Adakah Dia?

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Ilustrasi

Ilustrasi

JAWABANNYA ada. Secara tertulis semangatnya terwadahi dalam sila ketiga Pancasila. Hanya saja mewujudkannya tidak mudah. Pasalnya, manusia sebagai individu atau sebagai anggota masyarakat, memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Masing-masing pasti akan berusaha agar kepentingan yang menjadi obsesinya tidak dirugikan, sebaliknya malah harus diuntungkan.

Musyawarah untuk mufakat adalah sebuah mekanisme untuk mencari penyelesaian terbaik bila terjadi perbedaan. Win-win idealnya hasil mufakat yang dicapai, tidak zero sum game. Bermanfaat bagi kepentingan bersama, saling memuliakan semangatnya untuk mencapai keadaan yang lebih baik agar produktifitas guna menghasilkan output tetap tinggi dan outcome-nya dapat dinikmati bersama secara adil, proporsional dan bijaksana.

Kebijakan Upah Minimum Propinsi (UMP) sebagai contoh, prosesnya juga menggunakan pendekatan musyawarah mufakat. Tapi hasilnya ternyata tidak seperti yang diharapkan. Pihak majikan/perusahaan tidak puas, di pihak buruh juga belum bisa menerima. Itulah faktanya. Sulit menyelesaikan sebuah perbedaan kepentingan melalui mekanisme musyawarah mufakat.

Sulit karena banyak faktor, baik bersifat obyekif maupun subyektif. Ada faktor arogansi dan ada faktor non ekonomis lainnya yang berpengaruh. Mengelola nalar yang sehat dan perasaan dalam satu sistem pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat tidak selalu bisa berhenti pada titik keseimbangan, keserasian dan keselerasan dalam mengelola kepentingan.

Akibatnya, setiap tahun akan ada penetapan kebijakan UMP dan selalu dimulai dengan kegaduhan dan kontra produktif. Musyawarah untuk mufakat tetap kita butuhkan dalam sistem politik yang demokratis. Masing-masing pihak pasti memiliki kepentingan yang berbeda. Punya hak dan kewajiban yang berbeda dan masing-masing harus bisa saling menghormati dan saling menghargai.

Sama-sama saling membutuhkan, tetapi tidak boleh masing-masing pihak merasa yang paling benar, sehinggga kepentingannya yang paling pantas diakomodasi dalam proses pengambilan keputusan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar musyawarah mufakat dapat menghasilkan output dan outcome yang adil dan proporsional.

Pertama, perlu kepemimpinan yang netral, bebas nilai yang bisa selalu bisa memberikan inspirasi dan motivasi ke arah penyelesaian yang baik bagi para pihak. Kedua, musyawarah mufakat memerlukan sikap wisdom, kejujuran dan ketulusan penuh kedewasaan agar hasilnya menyejukkan bukan sebaliknya.

Ketiga, musyawarah untuk mufakat prespektifnya harus dieksplorasi secara luas dan mendalam yang harus dibangun berdasarkan semangat beribadah kepada Tuhan, membangun manusia yang beradab dan bermartabat, semangat kerjasama dan persatuan dan kesatuan dan menciptakan keadilan yang proporsional.

Jadi, musyawarah mufakat itu tetap ada dan kita butuhkan. Hanya saja untuk melaksanakannya, membutuhkan berbagai kondisi yang harus bisa dipenuhi oleh para pihak.***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS