Mulailah dari Bawah

Loading

Oleh : Fauzi Azis

Ilustrasi

Ilustrasi

SESUATU yang meningkat, naik dan tumbuh, secara alamiah selalu dimulai dari bawah, baik secara deret hitung maupun secara deret ukur. Yang serba natural itu biasanya tidak menarik karena dianggap biasa saja dan sudah dianggap lazim. Untuk bisa meningkat/naik dan tumbuh semuanya pasti berproses tidak bisa ujug-ujung, harus direncanakan, diprogamkan, dilaksanakan, dikelola, diawasi dan dikendalikan dengan cara dan metode yang tepat dan benar.

Meskipun peningkatan, kenaikan dan pertumbuhan dapat berlangsung berdasarkan deret hitung/deret ukur, seyogyanya berproses secara gradual, setahap demi setahap, agar hasilnya kokoh dan kuat. Secara politis, proses demokratisasi dan desentralisasi yang sudah berlangsung 10 tahun lebih memberikan pelajaran bagi kita bahwa proses pembangunan ekonomi atau bidang pembangunan yang lain diharapkan berlangsung dan dimulai dari bawah/dari daerah, serta dikelola secara otonom.

Demokratisasi secara hakekat adalah dari rakyat untuk rakyat. Dan desentralisasi pada hakekatnya juga adalah memberikan hak kepada rakyat untuk mengurus rumah tangganya sendiri secara otonom. Konsep kedaulatan negara, kedaulatan ekonomi dalam bingkai negara kesatuan yang mengakui adanya kebinekaan harus bisa diejawantahkan dalam suatu pendekatan pembangunan yang dimulai dari bawah (dari desa), yang di titik beratkan pada pembentukan kemandirian dan kedewasaan masyarakat serta pembentukan masyarakat madani yang kuat dalam bidang pendidikan dan ekonomi.

Desa harus dijadikan sebagai sentra unggulan pendidikan dan ekonomi. Jadikan masyarakat pedesaan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi daerah. Apakah mungkin dan bisa direalisasikan. Jawabanya sangat bisa dan mungkin. Persoalannya mau apa tidak, serius atau hanya bermain main dengan jargon-jargon saja. Di dunia banyak desa yang hebat secara sosial dan ekonomi. Contoh kecil saja di jepang, persis di desa Yufuin, salah satu desa di perfacture oita, berpenduduk sekitar 10 ribu jiwa, tapi desa tersebut tergolong makmur sebagai desa wisata yang setiap tahun didatangi turis sekitar 4 juta orang.

Konsep pembangunan pedesaan yang dijadikan icon adalah Green, Space, and Peace. Keberhasilannya berproses cukup lama (sudah sekitar 40 tahun dikelola) dan berhasil karena adanya komitmen dan kerja keras dari masyarakatnya dan didukung oleh pemdanya terutama dalam penyediaan infrastruktur agar akses menuju ke desa tersebut dapat dijangkau dengan mudah, aman dan nyaman. Model pembangunan pedesaan harus bisa digalakkan kembali dengan konsep yang benar-benar otonom, by design dan fungsi utamanya bukan untuk menjadikan desa berubah menjadi perkotaan satelit atau menjadi penyangga sistem sosial dan ekonomi perkotaan (hanya sebagai bufferstock), tetapi harus dibangun berdasarkan fungsi yang bersifat komplementer dengan sistem perkotaan.

Desa dibangun dengan pendekatan green economy. Kehidupannya maju, suasananya tetap pedesaan banget, tapi tidak hiruk pikuk, nyaman, hijau, bersih dan indah. Bagaimana memulainya dan bagaimana caranya? Pertama, undang para sarjana dan para ahli dari universitas untuk merancang konsep pembangunan pedesaan secara by design (basis utamanya adalah pendidikan dan ekonomi). Kita semua sebagian besar lahir dan besar di pedesaan, maka mereka kita berikan tantangan dan peluang untuk merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan jalannya pembangunan pedesaan sesuai dengan konsep yang telah disepakati.

Kedua, pemda menjadi fasilitator untuk penyediaan infrastruktur melalui penyediaan APBD dan APBN (DAK dan bentuk alokasi dana yang lain) yang besarnya disesuikan dengan kebutuhan yang telah dihitung pada saat rencana tersebut dibuat oleh para ahli dari universitas tadi. Ketiga, dibangun sistem dan mekanisme yang memungkinkan dana APBD/APBN/sumber lain dapat ditransfer langsung kepada pengelola pembangunan pedesaan dengan tetap berpedoman pada kaidah-kaidah good governance. Keempat, penataan peran pemda, masyarakat (sebagai subyek dan obyek) dan penataan fungsi-fungsi yang positif dari pranata kemasyarakatan, lembaga adat dan bahkan ormas dan orpol untuk membangun kemandirian masyarakat dalam mengelola berbagai potensi konflik sosial yang bisa merusak tatanan hidup di pedesaan yang dibangun dan dikembangkan.

Pada saat yang sama dilihat dari dimensi pendidikan, juga harus dikembangkan budaya politik dan sosial yang menitik beratkan pada penanaman nilai-nilai demokratis, terutama dalam penghormatan nilai-nilai HAM, persamaan senasib sepenanggungan, anti kekerasan, serta nilai-nilai toleransi dalam rangka mewujudkan desa yang maju dan mandiri. Inilah sekelumit pemikiran dan pandangan kalau kita menginginkan sebuah konsep pembangunan pedesaan yang berhasil.

Memulai sesuatu dari bawah jauh lebih baik dan lebih memulyakan kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Kita memerlukan Indonesia yang maju dan digdaya. Tapi pada saat yang sama kita juga memerlukan hadirnya masyarakat pedesaan yang maju dan mandiri dalam bingkai negara kesatuan yg menghargai kebinekaan. Sebagai warga pedesaan tanpa kecuali kita harus memilki pengetahuan dan motivasi untuk maju. Sebagai warga desa, kita harus mempunyai gairah untuk maju dan secara mental, kita tidak boleh terbelenggu dan dibelenggu oleh perasaan dan sikap hidup yang salah bahwa kita sepertinya tidak bisa maju hidup di pedesaan.

Desa bisa maju sangat tergantung dari motivasi kita sebagai warga desa yang berpengetahuan. Karena itu mulailah dari bawah, kerjakan sesuatu dari yang kecil-kecil saja. Small is beautiful. Jadikan desa sebagai pusat grativasi bagi masyarakat kota yang nyaris gila karena sibuk dengan dunia yang gemerlap, glamour, serba mendewakan harta, tahta dan bahkan wanita.

Kembali ke desa adalah obat penawar dahaga bagi manusia yang merindukan kedamaian, ketenangan dan kebersamaan, tapi dalam suasana yang lebih tertata rapi, nyaman, bersih, hijau dan aman. Kedamaian yang demikian hanya akan anda temukan di desa tempat lahir beta dan dibesarkan oleh ayah bunda. Sayangilah desa kita dan mulyakan desa kita.***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS