Merajut Koalisi Baru
Oleh : Edi Siswoyo
ADA benarnya juga adagium bahwa dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi selain kepentingan itu sendiri. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyadari dan merasakan itu. Tampaknya, perbedaan pendapat di antara Partai Politik (Parpol) pendukung koalisi pemerintah mendorong SBY perlu merajut kembali koalisi yang ada selama ini.
Presiden SBY menilai ada sejumlah Parpol yang melenggar sebagian dari 11 butir kesepakatan koalisi yang pernah dibuat bersama. Sudah dapat diduga, Parpol itu (Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera/PKS). Sedang dua Parpol lain (Partai Persatuan Pembangunan/PPP dan Partai Amanat Nasional/PAN) tetap komit. Lantaran itu, Presiden SBY (Partai Demokrat) akan memberi sanksi dan mengeluarkan Parpol yang tidak komuit dan sejalan.
Memang, perbedaan pendapat–juga kepentingan–sudah terjadi dalam urusan pembentukan Pansus Hak Angket Perpajakan di DPR belum lama ini. Partai Golkar dan PKS menyatakan setuju terhadap penggunaan hak anggota DPR menyelidiki kasus perpajakan. Berdeda dengan kawan koalisinya (Partai Demokrat, PPP dan PAN) yang menyatakan menolak penggunaan Hak Angket itu.
Parpol yang selama ini diposisikan sebagai barisan oposisi (PDI Perjuangan dan Partai Hanura) menyatakan setuju, kecuali Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang menyatakan menolak. Sehingga hasil akhir pemungutan suara menyatakan : 266 menolak dan 264 setuju.
Dengan posisi itu Partai Gerindra menunggu sebagai “kawan baru” koalisi ?
Dalam politik, merangkul Gerindra masuk ke dalam koalisi Parpol pendukung pemerintah SBY–Boediono itu sah-sah saja dan mungkin terjadi. Sama kemungkinannya dan sahnya mengeluarkan Partai Golkar dan PKS dari koalisi. Sebuah hal yang biasa dalam politik, tidak ada kawan dan lawan yang abadi keculai kepentingan itu sendiri.
Tapi, yang pasti selama ini Presiden SBY juga kita semua “terjebak” dalam kerancuan berfikir dan bertindak secara politik. Keterjebakan itu karena kondisi sistem politik di era reformasi yang menghadirkan banyak Parpol dan sejumlah Parpol memiliki perwakilannya di DPR. Praktik politik yang berkembang selama ini mengikuti gaya sistem Parlementer, bukan sistem Presidensial seperti yang dikehnedaki oleh konstitusi UUD 1945.
Coba saja buka Undang – Undang Dasar (UUD) 1945 sebelum dan sesudah diamandemen empat kali. Di sana secara jelas dan tegas tidak dikenal terminologi koalisi dan oposisi. Kedua terminologi itu hanya dikenal dan dipraktikan di dalam sistem Parlementer. UUD 1945 hanya mengenal–juga mengamanatkan—praktik sistim Presidensial.
Gegaduhan politik yang terjadi selama ini tidak terlepas dari praktik penyimpangan sistem tersebut. Praktik sistem pemerintahan Presidensial multi partai memang menimbulkan suara bising. Dalam kebisingan itu, Presiden SBY yang didukung lebih dari 60 persen suara rakyat melalui Pemilu, tidak perlu ragu dan harus berindak tegas merajut kembali koalisi baru untuk kepentingan meningkatkan kesejahteraan rakyat.***