“Madu” Kekuasaan

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

TAHUN 2014, pemilu pasti akan berlangsung. Parpol dan para politikusnya tidak ada yang tidak disibukkan dengan agenda politik untuk pemenangan pemilu. Hanya itu tujuan yang ingin dicapai, yaitu merebut satu kursi untuk mendapatkan “madu” kekuasaan selama lima tahun jika terpilih.

Celakanya, ketika para elite politik yang berkendaraan parpol berjuang untuk mendapatkan “madu” justru yang ditebar adalah “racun” demi sejeriken “madu”. Uang panas ditabur di dapilnya masing-masing untuk sekadar membeli “madu” yang nilainya miliaran rupiah. Rakyat hanya dijadikan sapi perahan demi “madu kekuasaan”. Bergaul dan bersahabat dengan rakyat pemilik suara hanya dihargai dengan sepotong kaos oblong dengan gambar si calon yang bersangkutan dan lambang partai sebagai kendaraan politik yang digunakannya dan ditambah sedikit uang untuk sekadar melepas dahaga.

“Racun” itu ditelannya habis dan ketika kemenangan didapat, maka selesailah persahabatan itu, Habis manis sepah di buang. Saat “madu kekuasaan” sudah tergenggam di tangan, mulailah mereka duduk di singgasana di gedung parlemen Senayan. Apa yang terpikir dan apa yang dipikirkannya kita tidak tahu. Alat komunikasi genggam yang dimilkinya tidak cukup hanya satu. Semua nama dan nomor HP para “sahabat” barunya sudah terekam di situ. Dari kolega sesama politisi sampai dengan mitra kerjanya di berbagai K/L, dan teman-temannya yang dianggap penting.

Apa yang akan dikapitalisasi sudah satu mereka dapatkan, yakni setangkai “madu kekuasaan”. “Madu” berikutnya adalah fasilitas sebagai pejabat negara berupa gaji dan tunjangan serta rumah dinas. Madu-madu lainnya yang dapat dikapitalisasi, antara lain, harta dan wanita bagi yang hobi dan punya bakat. Pasti tidak semua punya nyali untuk menjadi pemburu harta dan wanita kecuali hanya oknum yang memang punya nyali dan dari awal tidak punya visi kebangsaan dan kenegaraan yang jelas apalagi paripurna.

Perpustakaan Parlemen

UUD 1945 tidak dicoba dipelajarinya secara mendalam. Padahal, UUD 1945 adalah sumber dari segala sumber hukum dan visi bangsa dan negara kalau dibaca dari pembukaan hingga di masing-masing bab dan pasal-pasalnya. Perpustakaan DPR tidak besar kalau tidak mau dibilang tidak ada. Dibandingkan dengan perpustakaan milik Kongres AS, tidak ada apa-apanya. Perpustakan parlemen kita hampir jarang dikunjungi oleh 500 lebih anggota DPR terpilih.

Buat apa ke perpustakaan, lebih enak main golf, kongko di hotel mewah membahas masa depan. Bukan masa depan bangsa dan negara yang dibicarakan dalam kongko tersebut, tapi membicarakan hal-hal yang remeh-temeh saja. Kalau yang diajak kongko adalah petinggi K/L biasanya ngomongin soal program dan anggaran. Apa yang bisa dibantu dan sebagainya.

Ke depan banyak kalangan skeptis tentang Pemilu 2014, karena katanya calon-calon yang dipasang adalah aktor lama, lu lagi lu lagi (l4). Bangsa dan negara mau dibawa ke mana kita tidak tahu, padahal menu utamanya sudah ada di UUD 1945. Madu kekuasaan, oh yes, yes. Madu kebangsaan, sambil tersenyum dikatakannya bahwa itu urusannya para idealis, bukan urusan pemburu madu. ***

CATEGORIES
TAGS