Kebijakan Pemerintahan Presiden Jokowi Dinilai Lebih Banyak Mudaratnya

Loading

agus

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Ekonom Universitas Sam Ratulangi Manado Agus Tony Poputra menilai, beberapa kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo lebih besar mudarat daripada manfaatnya.

Agus memaparkan, kebijakan pertama yang dinilai lebih banyak mudaratnya adalah kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang melarang alih muatan di tengah laut telah menimbulkan dampak negatif.
Agus menjelaskan, kebijakan tersebut mempersulit nelayan pada beberapa wilayah di Indonesia, menurunkan aktivitas pengolahan hasil perikanan, menurunkan ekspor dan pajak dari sub sektor perikanan, serta meningkatkan pengangguran dan dampak negatif lainnya.
“Hal ini tentu saja bukan kabar gembira bagi Kementerian lain, seperti Perindustrian, Perdagangan, dan Keuangan karena kinerja mereka terpengaruh secara negatif,” ungkap Agus, Rabu (22/4/15).
Selain itu, penjualan ikan ilegal dan penyelundupan BBM di tengah laut yang menjadi dasar larangan tersebut sesungguhnya dapat diatasi lewat kebijakan pengawasan terhadap kapal-kapal penampung. Dan bukan justru melalui kebijakan pelarangan.
Di samping itu, pemerintah seharusnya membuat kebijakan-kebijakan penyanggah untuk memperkuat nelayan domestik dalam rangka mengambil alih aktivitas nelayan asing.
Kedua, lanjut Agus, kebijakan BBM Subsidi Harga Mengambang yang dilakukan Kementerian ESDM kurang diterapkan secara konsisten dan transparan. Akibatnya upaya mengubah perilaku masyarakat untuk menerima fluktuasi harga BBM Subsidi sebagai sesuatu yang wajar menjadi kurang tercapai.
“Kembali BBM Subsidi cenderung menjadi komoditas politik ketimbang komoditas ekonomi,” imbuh Agus.
Ketiga, kebijakan larangan bagi instansi pemerintah melakukan kegiatan di hotel yang dikeluarkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara juga memberi dampak negatif yang luas. Bisnis perhotelan dan pariwisata yang selama ini banyak disokong oleh kegiatan pemerintah telah mengalami penurunan kinerja yang signifikan.
“Hal yang perlu disadari bahwa belanja pemerintah memiliki fungsi untuk memperkuat ekonomi. Oleh sebab itu, program penghematan yang keliru dapat menimbulkan efek negatif bagi perekonomian nasional. Seharusnya pemerintah membatasi besaran belanja untuk kegiatan di hotel, bukan melarang sama sekali. Walaupun kebijakan ini telah dibatalkan, namun bisnis perhotelan dan pariwisata serta tenaga kerjanya telah menjadi korban,” tutur Agus.
Keempat, lanjut Agus, usulan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional untuk membebaskan Pajak Bumi Bangunan (PBB) pada kelompok kurang mampu. Hal itu, kata dia, selain menabrak wewenang kementerian lain serta pemerintah daerah, juga seolah ‘menghukum kerja keras’.
“Artinya, jika kebijakan tersebut dijalankan, maka pemerintah daerah akan mengalami penurunan penerimaan PBB,” ucap Agus.
Untuk menutupnya, maka pemerintah daerah akan meningkatkan PBB untuk kelompok mampu. Hal ini membuat kelompok ‘mampu’ lewat kerja keras merasa bahwa kerja keras mereka ‘dihukum’ dengan pajak yang lebih berat. Akibatnya akan mereduksi kerja keras tersebut.
“Itu kan sama artinya memperlakukan masyarakat secara tidak adil,” tutup Agus. (angga)
CATEGORIES
TAGS