Jika Produktifitas dan Daya Saing Rendah

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Ilustrasi

Ilustrasi

MEKANISME pasar berarti membiarkan ekonomi bergerak dan tumbuh sesuai dengan hukum pasar atau tumbuh bedasarkan kekuatan permintaan dan penawaran. Penganut aliran ini, yang sering disebut aliran ekonomi mainstream sangat percaya bahwa liberalisasi dan pasar bebas akan meningkatkan efisiensi dan akan terjadi pembagian kerja internasional sesuai dengan comparative advantage-nya.

Penganut aliran ini di negeri kita banyak sekali dan sebagian diantaranya menempati posisi strategis di pemerintahan. Jangan heran kalau kebijakan ekonomi yang dilakukan di negeri ini menganut faham yang liberal. Pada sisi yang lain, Indonesia punya problem yang bersifat struktural di bidang ekonomi yaitu rendahnya produktifitas dan lemahnya daya saing.

Kombinasi antara penerapan kebijakan ekonomi yang liberal dan tunduk pada hukum pasar dan produktifitas serta daya saing yang rendah, maka pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan tidak membuat berdayanya sektor tradable, seperti sektor pertanian dalam arti luas, pertambangan dan sektor industri pengolahan di dalam negeri karena posisinya dihajar dari dua sisi pada saat yang bersamaan.

Satu sisi dihantam dari saingan impor akibat kita meliberalisasi sektor perdagangan sesuai Washington Concensus dan di dalam negeri sendiri dihajar oleh ekonomi berbiaya tinggi (high cost economy) yang sampai sekarang tidak ada tanda-tanda akan beres. Padahal tahun 2015, bangsa dan negara ini akan ber-FTA di kawasan Asean. Mudah-mudahan tidak bernasib seperti Timnas sepakbola yang tidak pernah menjadi pemenang apalagi juara.

Ngurus PSSI kisruh, ngurus politik gaduh. Ekonomi tumbuh di atas landasan high cost, ini berarti bahwa negara ini mengelola ekonominya dengan cara yang boros, dengan nilai tambah yang rendah. Sampai triwulan-III 2012, pertumbuhan ekonomi sekitar 6,2% yang kontributor utamanya adalah pengeluaran belanja konsumsi domestik.

Besarnya nilai belanja konsumsi domestik ternyata tidak serta merta dapat mendongkrak pertumbuhan PDB sektor tradable karena tingkat pertumbuhannya hanya sekitar 4% rata-rata s/d triwulan-III 2012. Sementara itu, sektor non tradable pada periode yang sama tumbuh rata-rata 7,24%.

Rendahnya pertumbuhan PDB sektor tradable disebabkan oleh tekanan impor, serta produktifitas dan daya saing yang rendah. Sektor non tradable yang tumbuh di atas 7% adalah pengangkutan dan komunikasi, 10,29%; perdagangan, hotel dan restoran, 8,02%; bangunan,7,45%. Artinya, masyarakat Indonesia, utamanya golongan kelas menengahnya gaya hidupnya sangat konsumtif.

Celakanya pengeluaran belanja konsumsinya yang besar, yang menurut ADB per day berada pada kisaran US$ 2-20 sebagian besar dibelanjakan untuk membeli barang impor, bukan untuk membeli produk dalam negeri. Nasionalisme konsumen kelas menengah Indonesia yang berjumlah 134 juta jiwa boleh dibilang rendah. Padahal menurut pandangan guru besar Harvard, Leach Greenfeld (2001), ciri-ciri pertumbuhan yang berkesinambungan suatu perekonomian modern tidak berlangsung begitu saja.

Pertumbuhan akan berkelanjutan jika didorong dan ditopang oleh adanya semangat nasionalisme. Tokoh politik antar bangsa Ian Lustic (2002) juga menegakan bahwa nasionalisme adalah merupakan kekuatan pembangunan yang tidak ada tandingannya di dunia pada masa kini.

Mudah-mudahan opini ini akan dapat menjadi catatan kecil buat para pengambil kebijakan ekonomi Indonesia yang akan datang dan menjadi perhatian para jajaran birokrasi pemerintah di pusat/daerah bahwa akkibat dari rezim ekonomi di negeri ini yang sangat liberal dan ditambah faktor rendahnya produktifitas dan daya saing telah menghasilkan struktur perekonomian yang tidak kuat dan kokoh sehingga rentan terhadap tekanan eksternal. Ekonomi tumbuh tapi tidak efisien, malah boros. ***

CATEGORIES

COMMENTS