Intervensi Fiskal untuk Menggerakkan Sektor Riil, Mungkinkah?

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

Ilustrasi

SECARA teoritis harusnya bisa. Dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang digagas oleh Jhon Maynard Keynes mengatakan, peran negara dalam konsep negara kesejahteraan, khususnya di bidang ekonomi tidak dibatasi hanya sebagai pembuat peraturan atau regulator, melainkan diperluas hingga meliputi kewenangan untuk melakukan intervensi fiskal, khususnya untuk menggerakkan sektor riil dalam menciptakan tenaga kerja.

Sistem ini cukup moderat bila dibandingkan dengan sistem ekonomi yang digagas oleh Adam Smith seperti ditulis dalam bukunya The Wealth of Nation 1776. Konsepnya yang paling menonjol adalah bahwa mekanisme pasar sebagai suatu sistem, dengan sendirinya akan menghasilkan segala sesuatu secara optimal tanpa campur tangan pemerintah.

Selanjutnya menurut Smith dinyatakan bahwa ada tangan tak tampak (invisible hand) bekerja mengelola keuntungan individual dan memaksimumkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Tak heran, Adam Smith dianggap pelopor ekonomi neolib yang sekarang sering didiskusikan oleh banyak kalangan di Indonesia.

Kalau dua madzab ekonomi tersebut kita cermati, sesungguhnya kebijakan ekonomi Indonesia cenderung menggunakan madzab Keynes. Kebijakan fiskal yang dikembangkannya antara lain dibuat untuk memberikan keringanan fiskal dan stimulus fiskal dalam menggerakkan sektor riil.

Wujudnya bisa berupa pemberian keringanan/pembebasan pajak/bea dan subsidi melalui APBN untuk restrukturisasi permesinan industri TPT, pabrik gula dan sektor IKM tertentu. Fasilitas fiskal yang semacam ini biasa kita kenal sebagai bentuk insentif.

Ada pula bentuk kebijakan fiskal lain yang diterapkan sebagai bentuk disinsentif, seperti misalnya pengenaan Bea Keluar (BK) sejumlah komoditas tertentu seperti CPO, barang hasil tambang yang langsung diambil dari sumbernya seperti nikel, tembaga dan lain-lain yang tujuannya agar barang-barang tersebut diolah di dalam negeri dan tidak diekspor dalam keadaan mentah dalam rangka mendukung progam hilirisasi disektor industri pengolahan non migas.

Fakta ini kalau kita kaitkan dengan judul opini, jawabannya mungkin dan pemerintah sudah menjalankannya. Tapi pada prakteknya banyak terjadi trade off. Banyak hal yang menjadi penyebabnya, antara lain yang menonjol dapat dikemukan sebagai berikut: Pertama, kekuatan fiskal kita untuk menjadi instrumen stimulus terbatas.

Sebagaimana kita tahu APBN yang sekarang ini telah mencapai seribu triliun lebih sebagian besar telah habis terpakai untuk membiayai biaya opersional K/L, bayar hutang, subsidi, transfer ke daerah dalam bentuk DAK/DAU, dana otsus. Akibatnya dana yang teralokasi untuk secara langsung menggerakkan sektor riil menjadi terbatas.

Kedua, sumber pendapatan negara masih besar disumbang oleh penerimaan pajak dan PNBP. Sumber-sumber lain sangat dibatasi ketat, misalnya yang berasal dari hutang. UU keuangan negara no 17/2003 menegaskan bahwa defisit anggaran hanya boleh maksimal 3% dari PDB dan hutang maksimal 60% dari PDB.

Ketiga, mendapatkan fasilitas fiskal sebagaimana di jelaskan di atas juga tidak mudah merealisasikannya. Alasannya klasik saja, bisa disebabkan karena birokrasi maupun persoalan masih sengitnya perdebatan antara petinggi negara yang lebih bersifat ego sektoral.

Keempat, kementrian teknis yang membidangi pembinaan sektor riil tidak pernah mengeluarkan angka resmi dan final berapa besarnya nilai stimulus yang dibutuhkan secara total di setiap tahun anggaran. Yang terjadi lebih banyak ditangani secara case by case. Penanganan dengan cara seperti ini sangat tidak efisien dan aspek governancenya kurang dapat dijamin.

Peluang terjadinya perburuan rente sangat terbuka. Melihat kenyataan yang seperti itu, maka meskipun pemerintah telah menerapkan kebijakan fiskal untuk menggerakkan sektor riil hasilnya tidak optimal. Hal ini terjadi, selain karena 5 faktor tadi juga terjadi karena adanya ketidak pastian, baik di bidang aturan maupun pelaksanaannya.

Kebijakan fiskal yang seperti itu tetap diperlukan, tapi harus dicari terobosan baru yang memungkinkan, misal sebut saja sumber pendanaan inovatif dengan menetapkan kebijakan fiskal yang dirancang secara khusus untuk mendukung pelaksnaan kebijakan di sektor riil, yang para ahli ekonomi menyebutnya sebagai Sector Budget Support (SBS).

Inovasi lain di sektor moneter dan perbankan harus diinisiasi kembali lahir Bank Pembangunan terutama untuk membiayai investasi jangka panjang yang return on invesment-nya panjang dan yield-nya rendah.***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS