“Injury Time” Politik

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

MAKIN seru, makin gaduh, makin muncul ke permukaan “permainan kasar”,dan akhirnya berujung pada proses konsolidasi setelah menyadari bahwa kekalahan sudah di depan mata. Spekulasi politiknya macam-macam untuk menyelamatkan diri dari kekalahan dan menanggung malu kalau memang dalam laga politik 2014 benar-benar menderita kekalahan.

Ada spekulasi politik telah terjadi “konspirasi” dan ada pula yang berspekulasi telah terjadi “kudeta politik”. Injury time politik seperti yang terjadi di negeri ini, buat rakyat tidak menarik, ,karena rakyat makin cerdas dan dewasa menyikapi perkembangan politik di dalam negeri.

Mengapa demikian rakyat bersikap? Ada beberapa prespektif untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, rakyat dari awal sudah tahu permainan politik yang dijalankan oleh kalangan elite politik memang tidak menarik dan tidak enak ditonton. Game politiknya kasar dan jorok, karena penuh dengan permainan sabun. Survei elektabilitas membuktikan dan menjawab semua indikasi itu.

Kedua, elite politiknya sendiri yang membuat game politik sendiri hancur, karena sepanjang tahun dan berjalan hampir 10 tahun, rasionalitas politik dibuat-buat, tidak genuine dan tidak berhasil memberikan pendidikan politik yang mencerahkan. Miskin karya dan prestasi politik, baik di dalam maupun luar negeri. Bagaimana rakyat bisa percaya kalau elite politiknya tidak berhasil berkarya dan berprestasi gemilang di bidang politik yang bisa membuat rakyat menikmati kesejahteraannya yang riil dan membuat rakyat bisa keluar dari keterkungkungan belenggu kemiskinan dan pengangguran.

Ketiga, kualitas watak dan karakter berpolitik kalangan elite politik di negeri ini adalah “KW”. Miskin wawasan kebangsaan dan nasionalisme, akibatnya pudar rasa patriotik sebagai bangsa. Ini sangat “berbahaya”, terutama dalam kaitan memperjuangkan kepentingan nasional di fora internasional. NKRI rawan digugat atas nama kesenjangan dan ketidakadilan.

Keempat, meskipun sudah berpolitik secara demokratis, tapi praktik politiknya “membuat jarak”dengan rakyat. Secara inklusif rakyat tidak dilibatkan dalam proses politik dalam kaitan merumuskan kebijakan politik di bidang apa pun. Misalnya, dalam merumuskan kebijakan politik ekonomi, politik angggaran yang bersifat sibstantif, dan lain-lain. Kalau dilaksanakan hanya formalitas semata-mata. Rakyat hanya disayang dan “dimanjakan” dan dibutuhkan pada saat pesta politik (sengaja tidak menyebut pesta demokrasi) akan digelar, apakah dalam rangka pilpres, pemilu legislatif, atau pemilukada. Habis manis sepah dibuang.

Seusai pesta politik yang dimanjakan dirinya sendiri, partainya setelah kekuasaan tergenggam di tangan.Percayalah kalau pada saat injury time ini justru akan makin sepi.Yang ramai dan sibuk nggak karu-karuan hanya bersifat hujan local, ,yakni hanya ramai di kalangan elite partai.Yang membuat hangar-bingar kan hanya media, karena peran media memang harus mengungkap fakta kejadian politik di dalam negeri. Belajar dari situasi ini, harus ada perubahan, kalau bangsa dan negara ini tidak tertatih-tatih membangun peradabannya yang saat ini diwarnai noktah hitam dalam kehidupan politik di negeri ini. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS