Hilirisasi Rumput Laut Pacu Produksi dan Ekspor
MAKASSAR, (tubasmedia.com) – Produksi rumput laut olahan Indonesia terus didorong guna mendongkrak nilai tambah rumput laut mentah dan juga diperuntukkan bagi peningkatan ekspor.
Pengolahan rumput laut juga telah menjadi salah satu industri prioritas bersama industri makanan olahan lainnya. Ini tak lepas dari potensi Indonesia sebagai produsen rumput laut terbesar di dunia dengan produksi sebesar 240.000 ton per tahun pada tahun 2014.
Saat ini industri pengolahan rumput laut dalam negeri telah memproduksi kurang lebih 17.000 ton produk rumput olahan dari kapasitas terpasang sebesar 25.000 ton. Artinya, utilisasi kapasitas terpasangnya rata-rata masih sebesar 68% dengan produk utama karaginan dan agar.
“Utilisasi terus kita maksimalkan agar produksi meningkat dan pendapatan pengolah serta petani daya rumput laut lebih baik. Begitu juga dengan ekspor mengingat nilai ekspor produk rumput laut olahan pada 2015 sebesar USD 45,2 juta,” kata Menteri Perindustrian Saleh Husin saat mengunjungi Kawasan Industri Makassar (KIMA) di Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (4/6/2016).
Nilai ekspor itu setara Rp 610 miliar dengan merujuk nilai tukar rata-rata rupiah terhadap dollar AS pada tahun 2015 yang sekitar Rp 13.500. Penjualan keluar negeri itu terdiri dari US$ 35,1 juta karaginan dan US$ 10,1 juta agar, sedangkan nilai impornya sebesar US$ 4,5 juta terdiri dari US$ 4,2 juta karaginan dan US$ 300 ribu agar.
Peningkatan kemampuan hilirisasi industri berbasis rumput laut diharapkan mampu meningkatkan daya saing industri secara nasional sebagai penggerak perekonomian.
Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah penghasil rumput laut kering terbesar di Indonesia. Rumput laut juga merupakan komoditi unggulan yang dihasilkan oleh masyarakat di Sulawesi Selatan, khususnya di wilayah pesisir.
Panjang garis pantai di Sulawesi Selatan mencapai 1.900 kilometer dan sampai saat ini yang dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut baru sekitar 568 kilometer, sehingga komoditi rumput laut di Sulawesi Selatan mempunyai potensi tinggi untuk dikembangkan, sekaligus untuk memberdayakan masyarakat pesisir.
Dirjen Industri Agro Kemenperin Panggah Susanto mengatakan, pada tahun 2015 Kementerian Perindustrian memberikan bantuan mesin peralatan aneka olahan rumput laut kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. “Tujuannya agar meningkatkan nilai tambah dari pengolahan rumput laut kering menjadi produk makanan siap konsumsi,” terang dia.
Saat ini bantuan mesin peralatan aneka olahan rumput laut dikelola oleh Koperasi Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (Kospermindo) yang merupakan koperasi yang bergerak dalam memperdayakan dan mengembangan budidaya rumput laut di wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah sejak tahun 2002.
Pada kunjungan kali ini, Menperin juga meresmikan industri pengolahan rumput laut Kospermindo. Produk akhir yang dihasilkan berupa kue, roti, mie, hingga varian otak-otak dan sosis berbahan rumput laut.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulsel Hadi Basamalah menambahkan, pihaknya bakal terus mengembangkan olahan rumput laut ke produk lainnya seperti agar-agar dan kosmetik. Dia juga merinci, jumlah total industri kecil dan menengah di Sulsel mencapai 57 ribu dan mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 325 ribu orang.
Ketua Kospermindo Arman Arfah mengatakan Kospermindo adalah satu-satunya koperasi di lingkungan KIMA. “Pengalaman kami membuktikan pengolahan rumput laut tidak identik dengan padat modal karena kami pun mampu menggarap industri ini,” ujarnya. Lebih jauh, dia berharap industri olahan rumput laut di Sulsel turut berkontribusi bagi industri makanan minuman dan ketahanan pangan nasional.
Lebih jauh terkait industri makanan minuman, Kemenperin mencatat perkembangan industri ini terus mengalami pertumbuhan. Pada triwulan I 2016, tumbuh sebesar 7,55% lebih besar bila dibandingkan dengan pertumbuhan industri makanan dan minuman pada tahun 2015 sebesar 7,54%.
Sektor industri makanan dan minuman diakui strategis dan berkontribusi terhadap industri pengolahan non migas sebesar 31,51%, di mana industri pengolahan non migas berkontribusi sebesar 18,41% terhadap PDB Nasional. Sedangkan nilai ekspor produk makanan dan minuman pada triwulan I 2016 mencapai US$ 2,37 miliar.
IKM PERHIASAN PERAK
Masih di hari yang sama, Menperin juga menyambangi sentra kerajinan perhiasan perak dan emas di Kelurahan Borong, Manggala, Kota Makassar. Sentra kerajinan Borong sendiri telah terkenal dengan keuletan dan kreativitas para perajin yang diwariskan turun temurun.
Menurut pakar desain Universitas Negeri Makassar dan pembina perajin perhiasan, Dian Cahyadi, secara umum pola kerja di Borong ialah perajin pria membuat kerangka lantas dilanjutkan oleh perajin perempuan mengerjakan bagian detil perhiasan. Sekitar 200 kepala keluarga terlibat dalam aktivitas produksi kerajinan.
Kepada warga, perajin dan Pemprov Sulsel, Menteri Saleh mengapresiasi geliat IKM perhiasan Borong dan ke depan mendorong agar kawasan ini dikembangkan menjadi sentra wisata kerajinan seperti di Kotagede, Yogyakarta dan Bali.
“Dengan demikian, ekonomi masyarakat berkembang dan dengan menjadi sentra wisata yang didatangi wisatawan maka nama ‘Borong’ menjadi brand sekaligus dapat menjadi identifikasi bagi motif perak dan emas khas kawasan ini,” ujarnya. Perhiasan asal Borong sendiri telah menembus pasar ekspor seperti China dan Hongkong. (ril/sabar)