Emansipasi Pikiran Rakyat

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Fauzi Azis

Fauzi Azis

INDONESIA adalah negara demokrasi ketiga terbesar setelah reformasi terjadi tahun 1998. Satu tahun kemudian, pemerintah melaunching kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana dituangkan dalam UU No 22/1999 tentang pemerintahan daerah yang kemudian direvisi dalam UU No 32/2004 yang mengatur hal yang sama.

Perubahan ini telah berjalan 10 tahun lebih dan dinamikanya yang terjadi telah menghasilkan berbagai keadaan di masyarakat. Pada tataran elitis partai dan penguasa, terjadi suasana kebatinan yang gegap gempita dengan semangat yang paling menonjol adalah motivasi untuk berkuasa, bukan semangat untuk membangun dan untuk melakukan perubahan menuju kehidupan yang lebih baik, di bidang sosial, politik, hukum,ekonomi dan budaya.

Proses legislasi lebih banyak diwarnai semangat memperkuat interest masing-masing partai, belum sepenuhnya disemangati motivasi kebangsaan dan kenegaraan. Sistem keterwakilan rakyat di parlemen juga belum sepenuhnya dapat berlangsung baik yang dapat memenuhi harapan rakyat yang diwakili sehingga nyaris menimbulkan semangat ketidakpercayaan atas cara bekerja dan kinerja sebagian dari anggota parlemen yang mewakilinya.

Tidak heran kemudian muncul semangat baru di masyarakat yang melahirkan sikap asimpatik, demo jalanan, cemooh dan ledekan sampai perasaan masa bodoh melihat dinamika demokrasi yang telah susah payah kita bangun. Dan kalau mau diperpanjang dan diurai lebih dalam respon masyarakat yang diekspresikan dalam bentuk kekerasan dan kebrutalan yang sering terjadi pada dewasa ini, boleh jadi ekspresi kehidupan yang bersifat destruktif terlahir dari kekesalan demi kekesalan atas tidak terpenuhinya harapan masyarakat atas sistem perpolitikan di negeri ini.

Para poitisi sering dengan enteng menyikapinya bahwa dinamika yang terjadi di masyarakat baik bernilai positif atau negatif, itulah proses demokrasi. Jadi kalau logika ini diikuti berarti ada spirit pemahaman bernilai “pembiaran” karena dianggap kita sedang belajar berdemokrasi, yang lama-kelamaan setelah terjadi proses pendewasaan dalam kehidupan berpolitik, kondisi seperti itu akan sirna.

Ini hanya sekedar opini saja. Tetapi yang hampir pasti setelah kita hidup di alam demokrasi yang telah berjalan sepuluh tahun lebih, patut diberikan beberapa catatan-catatan sebagai berikut:

  1. Pertama, harmonisasi dalam komunikasi politik/publik antara elit politik dan elit penguasa dengan rakyat belum berjalan efektif. Masih banyak terjadi sumbatan dan hambatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

    Proses komunikasinya masih terbungkus dengan semangat basa basi, masih tersirat berdasarkan semangat komunikasi yang dilakukan saat ada keperluan saja, misalnya saat pemilu atau pemilukada.

  2. Kedua, proses demokrasi yang kita bangun dengan susah payah, ke depannya harus bertambah baik, semakin berkualitas dan interaksi politiknya harus berlangsung cair, penuh kedewasaan dan kesantunan, kejujuran yang dilandasi dengan semangat pengabdian, bukan semangat ingin terus berkuasa.

    Perubahan demi perubahan secara gradual harus dilakukan tanpa henti. Hal-hal yang dianggap tidak benar dan tidak sempurna, harus diperbaiki dan disempurnakan. Perilaku berpolitik yang dianggap tidak elok dan berlawanan dengan asas kepatutan harus dibuang jauh-jauh dan digantikan dengan perilaku berpolitik santun, arif dan beradab.

    Percayalah rakyat masih punya pengharapan besar, masih bisa berfikir sehat dan rasional dan positif bahwa negara ini memang akan menjadi negara dan bangsa besar asalkan semua pemangku amanah di negeri ini mau berubah, mau dan mampu melakukan perubahan untuk menyongsong hari esok yang lebih baik dan menyambut hari esok tanpa kecemasan.

  3. Ketiga, proses demokrasi dan desentralisasi yang paling hakiki, harus dapat memberikan ruang yang cukup bagi terjadinya proses emansipasi pikiran rakyat agar dapat menyalurkan aspirasinya dalam proses pembangunan negara dan bangsa tanpa mereka harus duduk dalam parlemen.

    Mekanismenya memang belum ada, tapi ke depan, sistem ini harus dibangun agar sumbatan komunikasi politik yang ada kalanya diwarnai dengan semangat kecurigaan, dapat dihilangkan, minimal diminimalisir.

Emansipasi pikiran dari rakyat harus dilakukan perubahan secara totalitas pemikiran yang bersifat hirarkis dan bersifat top down. Yang penting, terjadi sebuah harmoni pemikiran antara arus pemikiran bersifat top down dan bottom up serta terjadinya harmoni antara pemikiran para elite politik dengan rakyatnya.

Kenapa demikian? Karena sumber ilmu pengetahuan ada di mana-mana, baik di kalangan elite politik dan juga di masyarakat (kalangan atas, menengah dan bawah). Harmoni tadi diperlukan karena kita ingin mempunyai energi positif dan memiliki kekuatan dan daya dorong yang besar untuk saling berkontribusi dalam proses transformasi pembangunan di negeri ini.

Ingat, dalam demokrasi pada dasarnya rakyat adalah ibarat pemegang saham mayoritas dalam sebuah perusahaan. Pemegang saham mayoritas memiliki kekuasaan tertinggi dalam proses pengambilan keputusan penting dalam sebuah korporasi. Presiden sebuah korporasi dan Presiden dari sebuah negara yang menerapkan sistem demokrasi sebenarnya tidak lebih dari seorang profesional “bayaran” yang kekuasaan dan kewenangannya tidak tak terbatas.

Demikian pula para anggota parlemen, sesungguhnya tidak lebih dari para komisaris yang ditunjuk para pemegang saham utamanya rakyat. Jadi dalam prespektif ini, para wakil, sejatinya bekerja bukan atas nama partai tapi atas nama rakyat. Yang berhak mengganti komisaris tentunya rakyat sebagai pemegang saham mayoritas.

Oleh karena itu, sistem dan mekanisme seperti ini yang seharusnya dibangun dan diwujudkan. Mumpung sedang sibuk mereformasi UU tentang politik dan UU lainya yang terkait, pikiran-pikiran seperti ini seyogyanya dapat digali dari masyarakat. Inilah esensi dari judul tulisan ini, yaitu “Emansipasi Pikiran Rakyat”.

Sumber kebaikan ada di mana-mana. Demikian pula sumber kejujuran. Intelektualitas dan kecendiakawanan masyarakat tersebar dimana-mana. Manfaatkan sebagai sumber untuk membuat kebijakan negara yg lebih berkualitas yang hasilnya akan lebih mendatangkan manfaat bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS