Beradab Mana Koruptor Dibanding PSK…?

Loading

Oleh: Marto Tobing

ilustrasi

ilustrasi

PENYAKIT sosial yang paling renta usianya dan berada pada tingkat pertama strata sosial ternista dalam beradaban manusia, para pelakunya disebut Pelacur dan Koruptor. Profesi menjual diri ini diberi label sebagai Wanita Tuna Susila (WTS).

Namun terkesan sebagai ambang toleransi yang diberikan komunitas sosial yang lebih makro maka sebutan Pelacur-WTS bergeser ke arah nuansa permakluman menjadi Perempuan Seks Komersial (PSK). Ini artinya amoralitas yang mereka lakukan itu berlangsung sesuai kaidah ekonomi yang bertransaksi secara tunai tanpa ada yang dirugikan. “Kau jual aku beli” maka hubungan kausalitas ini terjadi secara personalitas yakni antara Pria Tuna Susila (PTS) dengan PSK.

Kini yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana soal moralitas yang melekat pada diri para koruptor jika disandingkan dengan para PSK…? Jawabnya perilaku koruptor dan PSK tak dapat dipungkiri adalah sama-sama tak bermoral. Hanya saja terdapat perbedaan yang sangat dahsyat. Fakta berbicara.

Saat digrebek dan diamankan (ditangkap) Satpol PP, para PSK itu langsung menutupi wajahnya dengan berbagai cara agar tidak dikenal publik karena masih ada rasa malu. Tentu sangat beda jika disandingkan dengan mentalitas para koruptor. Sejak ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), naik turun mobil tahanan hingga menuju ruangan sidang Pengadilan Tipikor “perampok” uang negara itu malah mendongakkan wajah sambil melepaskan senyam-senyumnya di hadapan kamera wartawan, malah tersirat menawarkan diri untuk di wawancarai media televisi.

Dari bahasa tubuh para koruptor itu menampakkan bahwa urat nadi rasa malunya sudah putus menyatu dengan bebalnya kulit tubuh hingga mati rasa. Bicara akibat. Jika daya rusak yang ditimbulkan PSK hanya sebatas individual (personalitas) dan mustahil akan mengganggu perekonomian apalagi berskala nasional, lain halnya atas kejahatan korupsi yang dilakukan para koruptor, justru bagaikan tikus.

Para koruptor itu menggerogoti keuangan negara demi menumpukkan harta sebagai kekayaan pribadi. Dana yang disalurkan pemerintah sebagai acuannya melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang nilainya triliunan rupiah seenaknya “dimainkan” para korutor baik yang bercokol di birokrasi eksekutif mau pun para elit politik yang bertengger di lembaga legislatif termasuk para elite dilembaga judikatif. Tentu saja peranan pengusaha bersama elit di tubuh partai politik ikut berperan aktif.

Hasil kekayaan alam termasuk devisa negara yang diperoleh dari pembebanan kewajiban pajak bagi rakyat, itulah yang “dirampok” para koruptor sehingga pembangunan demi kemajuan negara dan kesejahteraan rakyat tak lebih hanya sekedar slogan belaka. Kemiskinan massif hanya sekedar menghidari busung lapar pun semakin mengakar rumput mulai bergerak ke arah tindak-tanduk kriminalitas. Ini semua sebagai dampak kausalitas permasalahan.

Pengangguran adalah sebagai bibit mewarnai fariabel data statistik. Sayangnya data statistik itu hanya dijadikan sebagai wacana bahan diskusi atau perdebatan di kalangan elit ilmu pengetahuan (pakar) di berbagai media televisi.

Solusi permasalahan pun berhenti tanpa tindak lanjut di rana kebijakan oleh pemegang kekuasaan di era Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II dibawah kendali Presiden Soesilo Bambang Yudoyono (SBY). Satu hal yang dapat dipastikan bahwa pengangguran akan melahirkan kemiskinan, itu sudah pasti. Turunannya adalah kejahatan kriminal diwarnai gejolak massa yang berkarakter anarkhis pun tak dapat dihindari. Akibatnya korban pun “menjerit” dan berjatuhan dimana-mana. Kalau PSK mencari uang dengan memberi kesenangan pada orang banyak maka koruptor mencari uang dengan menyengsarakan orang banyak.

Maka sepantasnyalah kedua profesi illegal ini mendapat ganjaran hukuman yang setimpal. Hukuman yang setimpal bagi pelaku kejahatan susila yang terjadi sepatutnya lebih adil, jika PTS-nya juga ikut dijebloskan ke Panti Rehabilitasi Sosial (PRS) karena selama ini hanya PTS-nya yang menjadi ganjar penghukuman di PRS. Sedangkan bagi para koruptor bobot penghukuman harus berdampak efek jera. Sebab secara kasat mata publik menilai hukuman badan yang selama ini dikenakan terhadap koruptor belum maksimal. Sehingga hukuman badan dan denda yang divoniskan selama ini ternyata belum juga berhasil menimbulkan efek jera.

Padahal hukuman yang sangat ditakuti para koruptor adalah pemiskinan. Langkah KPK ke arah memiskinkan para koruptor sudah mulai ditempuh dengan penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang antara lain, asset miliaran rupiah milik tersangka korupsi Djoko Susilo senilai Rp 117,75 miliar sudah disegel KPK, tak terkecuali miliaran rupiah aset kekayaan tersangka korupsi Lutfi Hasan Isaq, Ahmad Fatonah dan menusul asset kekayaan Muhamad Nazarudin senilai Rp 400 miliar seluruhnya disita KPK. ***

CATEGORIES
TAGS