Bang Jokowi dan Bang Ahok Bukti Dahsyatnya Kekuatan Rakyat

Loading

Laporan: Redaksi

ilustrasi

Jokowi - Ahok

JAKARTA, (TubasMedia.Com) – Hasil akhir Pemilukada DKI 2012 membuktikan bahwa dukungan partai politik “gajah” tidak lagi terlalu berarti untuk memilih gubernur DKI. Hal itu terbukti dengan menangnya pasangan Joko Widodo (Jokowi) – Tjahja Purnama (Ahok) dalam Pemilukada DKI 2012 lalu. Pasangan Foke – Nara hanya memperoleh 47,03 persen suara, padahal kedua calon itu didukung oleh partai “gajah”, partai-partai raksas di negeri ini, sementara Jokowi-Ahok yang didukung oleh PDI P, meraih suara sampai 52,97 persen. Ini merupakan bukti dahsyatnya kekuasaan rakyat.

Demikian terungkap dari acara peluncuran dan bedah buku berjudul Bang Jokowo dan Bang Ahok Bangun Jakarta Baru yang diselenggarakan di Gedung William Surajaya (GSW), Fakultas Kedokteran Univeritas Kristen Indonesia (UKI), Cawang Jakarta Timur, Rabu (19/6/2013) lalu. Acara yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pengabdian Masyarakat dan Pengembangan Bisnis UKI itu, dihadiri oleh Civitas Academica UKI, Forum Kampus Kuning 1978, pihak yang mewakili Joko Widodo, kalangan usaha dan masyarakat luas.

Kekuatan rakyat itu memilih tokoh Jokowi yang jujur, sederhan, transparan, prorakyat, pronasionalisme, dan prokemanusiaan meskipun tidak didukung oleh partai-partai raksasa di negeri ini. “Mayoritas masyarakat DKI Jakarta dan masyarakat Indonesia merasakan bahwa Orde Reformasi tidak membawa kebaikan dan kemajuan bagi mereka.

Di era Reformasi ini, ternyata demokrasi bukan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, tapi demokrasi dari rakyat, oelh elite, dan untuk elite. Contohnya, dalam kenaikan BBM, bagaimana demokrasi dipertonton oleh para elite politik yang melawan aspirasi rakyat,” kata Musni Umar, Ph D dalam acara peluncuran buku tersebut.

Dikatakan, kehidupan masyarakat bawah di era Reformasi ini makin sulit, msayarakat bawah menghadapi liberalisasi, kesenjangan ekonomi, dan makin sulit mencari pekerjaan. Kalaupun ada pekerjaaan, penghasilannya tidak cukup untuk makan keluarga, dan pasti tidak ada untuk ditabung, apalagi menyekolahkan anak. “Inilah akibat sistem liberalisasi yang dibangun oleh pemerintah di era Reformasi, sehingga keberadaan pemerintah tidak dirasakan dan kenaikan harga bahan pokok, misalnya” kata Musni Umar.

Dikatakan, masyarakat DKI Jakarta melakukan perubahan dengan meilih pemimpin baru seperti Jokowi, hal itu meruapakan bentuk protes karena tidak puas dengan keadaansehingga masyarakat menginginkan perubahan. “Fenomena ini mengisyaratkan apa yang akan terjadi dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 nanti karena ketidakpercayaan rakyat terhadap para pemimpin dan pejabat Negara semakin terakumulasi dan bertumpuk-tumpuk karena kenaikan segala macam kebutuhan rakyat dan termasuk kenaikan BBM,” katanya lagi.

Lingkungan dan Industri

Sementara itu, Ir Maruli Gultom, mantan Rektor UKI mengatakan, perlu pemimpin yang mampu mengatur pola pembangunan Jakarta yang sudah sumpek dan makin tua. Pola pembangunan industri dan bisnis di Jakarta sudah tidak memadai. Terbukti pada jam-jam sibuk, Jakarta sangat macet dan sudah tidak layak untuk dihuni.

Sedangkan Ir SM Doloksaribu, Kepala LPP-MB UKI mengatakan, kota Jakarta sudah makin tidak layak huni karena udara yang kita hirup setiap hari dan air yang kita minum sudah mulai tidak layak konsumsi. “Udara yang kita hirup di Jakarta sudah terpolusi oleh industri dan asap buangan kendaraan. Kita tdak bisa hindari karena kita harus bernapas setiap detik. Satu menit saja kita tidak bernapas, maka kita akan mengalami gangguan. Demikian juga air yang kita konnsumsi setiap hari di Jakarta, sudah tidak layak konsumsi yang tentu akan memengaruhi kualitas hidup kita,” katanya.

Hatta dari Forum Kampus Kuning 1978 mengatakan, kekuatan rakya tyang memilih Jokowi-Ahok adalah kekuatan riil yang harus dipertimbngkan di masa depan. “Jokowi menjadi prototype pemimpin yang mnjadi harapan masa depan karena ia jujur,, sederhana, transparan, dan prorakyat. Itu yang dicari masyarakat Jakarta, dan Jakarta itu juga berarti Indonesia,” katanya.

Dari floor, Drs Jimmy Siahaan mengatakan, karena Jakarta sudah sumpek, mungkin perlu dipisahkan antara ibu kota dan kota bisnis seperti di negara-negara maju lain, seperti AS, di mana kota bisnisnya New York, sementara Washington adalah ibu kotanya. Atau Australia yang kota bisnya Sydney tapi ibu kotanya Melbourne, ata Belanda yang ibu kotanya Den Haag sementara kota bisnisnya Amsterdam dan Rotterdam.

“Jakarta sumpek karena kalangan bisnis memanfaatkan para pejabat untuk melancarkan usahanya dengan sogokan, karena dekat. Jadi ibu kota RI perlu dipikirkan untuk dipisahkan dari kota bisnis seperti Jakarta,” katanya.
Dikatakan, Jakarta menjadi tempat segala-galanya sehingga menjadi makin sempit. Mungkin juga departemen, atau kementerian tertentu tidak perlu ditampatkan di Jakarta. Misalnya Kementerian Kehutannan tak perlu di Jakarta karena sudah tidak ada hutannya. (apul)

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS