Bajaj (belum) Pasti Berlalu

Loading

Oleh: Anastasia Widiyanti

Ilustrasi

Ilustrasi

BAJAJ, si Pesek Roda hingga kini masih bebas berlalu lalang di berbagai pelosok Ibukota Jakarta. Sementara, rekan-rekan sejenis (roda tiga) lainnya, seperti helicak, mobet, minicar, apalagi becak sudah raib tak berbekas.

Tentu, bukan karena Bajaj mendapat keistimewaan, sedangkan yang lain tidak. Sebab sejatinya sejak tahun 1980, Pemerintah DKI Jakarta dengan berbagai cara berusaha menghapus Bajaj dari daftar moda transportasi publik di kota metropolitan ini.

Tapi, menghilangkan kendaraan ciptaan Dr. Krisnan K Bajaj asal India yang mulai beroperasi di Indonesia tahun 1975 ini, ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Sebab kenyataannya Bajaj tetap bertahan dengan segala keberisikannya serta asap knalpotnya yang hitam pekat.

Hal ini tentu, selain wujud kegigihan pemilik dan keuletan pengemudinya, juga pertanda masih banyak warga kota berminat menjadi konsumennya. Kombinasi dari dua faktor inilah yang tampak menjadi “keunggulan” Bajaj dibanding dengan moda transportasi lainnya.

Dengan kabin berdinding kaleng, beratap terpal dan dapat memuat tiga penumpang, Bajaj menjadi solusi bagi warga masyarakat yang belum mampu membeli mobil dan tinggal di gang-gang sempit. Dia juga menjadi alternatif bagi pengguna jasa ojek saat musim hujan tiba. Tampaknya desain sederhana namun mampu mengakomodasi beragam kebutuhan masyarakat inilah yang menyebabkan bajaj tidak kehilangan pasar.

Tapi, tentu bukan hanya itu yang menjadi keunggulan bajaj. Sebab menurut seorang pengusaha bajaj, karena struktur dan konstruksi teknologinya sangat sederhana kendaraan ini menjadi sangat efisien. Bajaj, sebagai kendaraan “wong cilik” tidak hanya dilihat dari sudut konsumennya, tapi juga dari aspek desain dan teknologinya.

Dari bajaj diperoleh keunggulan antara lain: Ukurannya yang kecil dapat menjangkau pelosok pemukiman yang memiliki akses jalan besar. Mesin dan perangkat sederhana dan suku cadang mudah didapat dengan harga murah. Bajaj dapat menggunakan onderdil sepeda motor jenis Vespa.

Pengemudi dapat bekerja dengan ruang gerak yang cukup dan ergonomis. Pemeliharaannya mudah karena jika terjadi kerusakan, pengemudi dapat memperbaiki sendiri, misalnya rantai putus, tali kopling putus, stel gas dan lain-lainnya bisa memasang sendiri.

Mempergunakan lebih banyak kandungan lokal atau produksi lokal. Input energi relatif hemat dan produksi polusinya sedikit. Efisien pada skala kecil. Kompatibel dengan lingkungan, jalan sempit bisa masuk dan dan mudah berbelok. Cocok dengan budaya lokal khususnya bagi pemakai jasa angkutan, mudah naik dan turun, kuat, stabil dan aman. Penutupnya dapat menggunakan terpal yang ringan dan bila sobek mudah diganti.

Di samping keunggulan tersebut, memang terdapat sejumlah kekurangan, baik bersifat teknis maupun non teknis yang kerap jadi keluhan masyarakat. Salah satunya kebiasaan pengemudi yang berhenti atau “mangkal” sehingga menimbulkan kemacetan, kecepatan lambat sehingga menghambat kendaraan di belakangnya, serta asap knalpot yang hitam pekat.

Namun berbagai kelemahan tersebut tentu dapat diperbaiki dengan serangkaian penyempurnaan dan perbaikan sistem teknologinya. Tapi sayangnya, hal ini masih kurang mendapat perhatian. Untuk perbaikan ke depan, dengan berpatokan pada syarat-syarat teknis moda transportasi publik, pemerintah seyogyanya mendorong dan memberikan apresiasi terhadap berbagai upaya masyarakat untuk memodifikasi teknis dengan lebih profesional.

Tentu tak kalah penting apresiasi perlu diacungkan kepada pusat-pusat perbelanjaan yang secara khusus memberikan fasilitas parkir untuk memudahkan pengemudi dan pengguna jasa angkutan bajaj.

(Penulis,seorang pemerhati masalah perkotaan pada Lembaga Studi Sosial, Lingkungan dan Perkotaan/LS2LP)

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS