Apalagi yang Mau Diimpor?

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

MENJELANG Puasa, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru, kabinet sibuk membahas impor. Di lain pihak, masyarakat dianjurkan menggunakan produk lokal. Mana yang benar dan siapa yang tidak nasionalis? Pertanyaan ini layak disampaikan agar pemerintah tidak menjadi “tersangka” akibat sibuk mengurus impor.

“Diduga” karena publik beranggapan mengurus impor itu legit, madunya banyak karena bisa digunakan untuk kepentingan pemilu. Sedangkan mengurus produksi lokal itu rumit karena harus menunggu panen raya, menunggu produksi, menunggu pengadaan bahan bahan baku, mikir membayar upah buruh, bayar pajak, dan untungnya tidak seberapa. Karena itu, lebih baik impor, urusannya ringkas. Kalau bosnya sudah mantuk/menganggukkan kepala semua urusan beres.

Menjadi curiga, jangan-jangan bangsa ini memang hanya pandai menjadi pedagang. Kulturnya lebih mendukung untuk menjadi pedagang, dari sekadar menjadi pedagang kaki lima sampai dengan menjadi pedagang kaki sejuta. Pemerintah kurang peduli terhadap para inventor, inovator, dan peneliti yang kalau difasilitasi dengan baik karya-karyanya akan bisa menjadi produk yang dapat menjadi sumber pasokan bagi kebutuhan masyarakat luas, di dalam negeri maupun di luar negeri.

Faktanya tidak seperti yang kita bayangkan. Pemerintah memang punya kewenangan yang luas untuk memberikan berbagai bentuk kemudahan terhadap masuknya barang impor. Termasuk dalam hubungan ini adalah “memperlancar” masuknya barang impor selundupan. Artinya, pemerintah tidak serius mengatasi dan menindak penyelundup, yang katanya, terjadi di semua pintu masuk, dari pintu kecil sampai pintu besar.Tidak pernah publik mendengar adanya sidang kabinet yang secara khusus membahas penyelundupan dan rencana tindaknya.

Lain kalau mau bagi-bagi BLSM, semua dibuat sibuk. Semua K/L diperintahkan untuk membuat iklan tentang BLSM atas nama sosialisasi dan kepedulian. Tidak ada ucapan dan ajakan dari para sekondan di negeri yang dengan lantang mengatakan “matikan” penyelundupan.

Perburuan Rente

Katanya, di balik penyelundupan itu, meskipun barang haram, banyak madunya juga. Penikmatnya banyak karena madunya bisa menambah daya tahan tubuh dibandingkan madu lainnya yang asli. Pura-pura risau dengan persoalan neraca perdagangan. Padahal, defisit neraca perdagangan sejatinya adalah sebagian karya dari pemerintah dan para pedagang importir yang sangat menikmati hasil perburuan rentenya. Sampai ayam pun harus diimpor dari China.

Belum lagi telor, sayur-mayur, cabai, bawang, dan daging sapi. Sepotong omelet/telor dadar atau martabak, lokal kontennya sekarang ini paling tinggi hanya 20% dan konten impornya bisa mencapai 80%.

Percaya tidak percaya.Terlalu. Astaga. Publik hanya disihir dengan ilmu inflasi yang mengatakan, kalau tidak ditambah pasokan dari impor, maka inflasi akan naik tambah tinggi, karena itu kabinet memutuskan harus membuka keran impor dan “menutup” keran produksi dalam negeri. Faktor penawaran dan permintaan angkanya di-window dressing agar tercipta suatu kondisi bahwa pasokan harus ditambah dan tambahan itu hanya bisa dilakukan kalau keran impor dibuka.

Karena perubahan iklim, anomali cuaca, sulit mengharapkan pasokan dari dalam negeri dapat ditambah. Cadangan devisa dihamburkan hanya untuk menahan laju inflasi. Pemerintah suka bermain di wilayah paradoks ekonomi. Senjata yang dipakai adalah intervensi pemerintah untuk mengamankan inflasi, dan peluru tajamnya menambah pasokan barang dan bahan impor.

Rasanya hampir tidak mungkin dalam waktu dekat tidak akan ada penambahan kuota impor BBM, karena permintaan meningkat. Logika ekonomi mengatakan, pada saat kurs mata uang melemah, bukan waktu yang tepat untuk melakukan impor, karena di samping banyak mengeluarkan rupiah, yang harus dikonversi ke dolar AS, harganya pun menjadi mahal.

Bukti lain pemerintah gemar mengimpor adalah pada saat tahun 2008 terjadi kenaikan harga kedelai ada salah satu keputusan sidang kabinet yang mengatakan bahwa akan dibuka kebon kedelai (soyabeen estate).Tapi, sampai sekarang sudah hampir 5 tahun ternyata hanya pepesan kosong. Tetap saja kita harus mengimpor kedelai dalam jumlah yang besar,dan produksi kedelai tidak pernah bertambah, hanya sekitar 700-800 ribu ton/tahun. Jadi wajar kalau opini ini bertanya:”Apalagi yang mau diimpor?” ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS