Tata Keseimbangan Air Jakarta

Loading

Oleh: Sahat Marojahan Doloksaribu

Sahat Marojahan Doloksaribu

Sahat Marojahan Doloksaribu

HUJAN Jumat, 8 November 2013 di Jakarta, menunjukkan kota ini mulai memasuki musim hujan. Ternyata, walau masih awal musim hujan masalah akut sudah muncul, genangan di mana-mana yang berujung kemacetan di hampir seluruh kota. Keseimbangan air Jakarta memang parah. Keseimbangan antara air permukaan, tanah dan hujan. Sebanyak 13 sungai yang mengalir membelah Jakarta tergolong sungai mati. Tidak ada lagi aktivitas kehidupan alamiah yang cukup berarti di dalamnya. Tidak ada satu sungai pun yang masih mempunyai debit rata-rata yang baik, debit pada musim kemarau dan hujan relatif sama.

Kehidupan alamiah yang membutuhkan oksigen secara umum telah digantikan kehidupan mikro-organisme yang tidak membutuhkkan oksigen, anaerobik. Tidak heran kalau kegiatan mencari ikan di pinggir sungai-sungai Jakarta sudah lama ditinggalkan. Sulit membayangkan kegiatan seperti itu terjadi apalagi ke arah hilir, Teluk Jakarta, muara sungai-sungai itu. Semakin ke arah muara, bau busuk yang menjadi ciri kegiatan anaerobik itu semakin nyata, tajam menyengat. Sungai-sungai di Jakarta sudah lama menjadi tempat pembuangan limbah, cair, dan padat. Air buangan rumah tangga dan industri mengalir setiap hari ke dalam sungai, demikian juga buangan padat, sampah.

Jakarta tempo doeloe dengan kehidupan airnya yang berpusat di Ciliwung telah lama menjadi kenangan.Tidak ada lagi pencari ikan hilir-mudik sepanjang sungai, wisata sungai dan anjangsana dari kampung ke kampung. Kebun buah khas Betawi yang masih didendangkan hingga kini dalam nyanyian rakyat, papaya, mangga pisang, jambu dan tentunya salak, sudah lama hilang. Lahan kebun buah itu sudah beralih fungsi. Permukiman dan industri menggusur kebun produktif. Perubahan fungsi lahan di hulu dan menjelang hilir mengubah pola alir air di daerah tangkapan sungai. Inilah sumber gangguan keseimbangan itu.

Rusak Berat Hulu-hilir

Kehidupan sungai dimulai dari hulu.Tetes demi tetes air dari ketinggian di hulu mengalir kekerendahan di hilir. Mestinya, di daerah hulu air tidak langsung mengalir ke permukaan, tetapi menyusup ke dalam tanah menjadi air tanah dangkal dan dalam. Karakter pengaliran dari hulu ke hilir itulah yang menentukan berapa besar debit sungai, bagaimana mutunya dan keberlangsungannya. Mengalir atau menyusup ditentukan oleh factor kemiringan, jenis penutup lahan, jenis dan struktur tanah.

Dari faktor penentu itu, penutup permukaanlah yang paling sering diubah yang akan menentukan seberapa besar air mengalir di permukaan dan seberapa besar bagian lainnya menyusup masuk ke dalam tanah. Alih fungsi lahan akan mengubah permukaan lahan. Misalnya, dari hutan menjadi permukiman. Perubahan seperti ini akan membawa dampak jumlah air melimpas, mengalir di permukaan menjadi sangat besar. Ini, awal masalah, mengalir terlalu banyak di musim hujan dan terlalu sedikit di musim kemarau membuat kekeringan dan erosi di hulu serta banjir dan pendangkalan di hilir.

Masalah sungai ini diperburuk oleh masalah drainase yang buruk, tidak bersistem atau asal-asalan. Jakarta sebagai megacity mengalami banjir rutin karena dua hal besar tadi, sungai dan drainase. Sehingga dipastikan hingga kedua hal itu dapat diperbaiki, Jakarta masih tetap mengalami banjir dan kekeringan secara ektrem sesuai pergantian musim.

Kelola Kawasan

Jakarta sebagai bagian hilir dari sungai-sungai yang mengalirinya, memiliki sensitivitas tinggi dalam menata keseimbangan air. Sensitif, karena dia sebagai penerima. Dapat terjadi banjir dalam keadaan kering, tanpa hujan di daerahnya sendiri, masyarakat menyebutnya banjir kiriman. Dalam hal seperti itu air yang memasuki Jakarta datang dari daerah tangkapan di luar daerah administrasinya. Sebaliknya, dapat terjadi banjir karena hujan besar di daerah tangkapan di daerah administrasi sendiri. Gabungan dari dua keadaan di atas, hujan di hulu bertemu hujan di hilir dapat menjadi banjir besar. Banjir besar inilah yang sesungguhnya menjadi keprihatinan yang sering menjadi sulit diatasi ketika hujan di hulu bersamaan dengan hujan di hilir.

Hujan di hulu dan di hilir bersamaan dapat terjadi setiap tahun pada puncak musim hujan, yang sesungguhnya dapat diperkirakan berdasarkan periode ulang sesuai pengalaman. Periode ulang adalah pola curah hujan dengan intensitas dan durasi yang mengalami pengulangan secara teratur. Walau tidak bias dipastikan, namun keteraturan alam menunjukkan ada periode ulang tahunan, lima tahunan, puluh tahunan dan seterusnya. Hal itu dapat dipelajari dari data curah hujan. Dengan mengetahui periode ulang itu, kemudian dikenal istilah banjir tahunan, lima tahunan atau sepuluh tahunan dan seterusnya.

Untuk memelihara keseimbangan air kawasan terkait keseimbangan air Jakarta, perlu dilakukan beberapa langkah berikut. Pertama, kebijakan bersama, menata tata guna air daerah tangkapan sungai yang lintas provinsi dengan batas yang jelas. Kedua, menata saluran makro dari anak-anak sungai sampai sungai besar yang melintas Jakarta. Ketiga, menata system drainase kota secara benar, terutama pertemuan-pertemuan saluran, sehingga drainase Jakarta itu bersistem, jelas arah alirannya. Keempat, melibatkan masyarakat mulai dari perencanaan hingga ke pemeliharaan dan pengawasan.

Untuk memelihara seluruh saluran mikro dan makro, Jakarta membutuhkan keterlibatan masyarakat. Ini pekerjaan mendesak. Biaya pengerukan sungai karena dipenuhi sampah, sungguh mahal. Mahal dari segi biaya pengerukan, lebih mahal lagi dari segi kerusakan yang ditimbulkan banjir, tetapi jauh lebih mahal lagi ketika sampah itu sudah memasuki siklus hidup sumberhayati sungai, pantai dan teluk. Singkatnya, ketika sampah sudah masuk kerantai makanan warga Jakarta.

Tidak hanya sekadar jargon “Dilarang Membuang Sampah” di panel-panel atau spanduk-spanduk. Kita harus melatih diri untuk tidak membuang sampah di mana saja kecuali di tempat sampah.

Semakin diperlukan kesadaran dan tanggung jawab dalam melakukan hal-hal kecil untuk menahan air selama mungkin di pekarangan atau bahkan di atap rumah untuk mereka yang sama sekali tidak memiliki pekarangan. Sistem drainase wilayah seluas Jakarta dengan 13 sungai, semestinya akan lebih mudah dilakukan, jika ada catatan yang dapat dipelajari warga tentang sifat, karakter ketiga belas sungai itu. Seharusnya, sungai-sungai itu tidak hanya digunakan untuk melarikan air secepatnya ke laut, tetapi dimanfaatkan untuk menahan air selama mungkin di darat.

Persoalan paling serius air Jakarta ke tahun-tahun mendatang adalah ketika kita sampai pada kenyataan, tidak ada sumber air yang dapat digunakan untuk bahan baku air minum dan peruntukan lain.

Dibutuhkan evaluasi menyeluruh untuk menata keseimbangan air Jakarta, termasuk tali air Kali Malang. Evaluasi ini penting sebelum masa lebih sulit, krisis air Jakarta mengancam. Jakarta membutuhkan air secara seimbang sepanjang tahun.Selama musim hujan boleh lebih, tapi tidak banjir.

Sebaliknya di musim kemarau boleh kurang, tetapi tetap cukup tidak kekeringan. Warga Jakarta jangan sampai dihantui oleh keadaan, kalau hujan siap-siap banjir, kalau kemarau harus mencari air seperti di gurun. Menahan air tawar selama mungkin di daratan menjadi keharusan penataan ke masa mendatang. Jangan biarkan air tawar mengalir begitu saja ke Teluk Jakarta. ***

Penulis adalah Dosen, Ketua Lembaga Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat dan Pengembangan Bisnis-Universitas Kristen Indonesia, Jakarta

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS