Tangisnya Tangis Kita Juga

Loading

Oleh : Kirtya

ilustrasi

ilustrasi

SUARA seorang anak pada sebuah dialog lewat telepon di sebuah acara keagamaan di TV pasti membuat orang yang mendengar saat itu tergetar hatinya. Anak itu menangis sedih karena ayahnya memiliki keluarga baru, sedang ibunya sedang sakit.

Ketika ia bertanya dengan terbata-bata, bagaimana membuat ayahnya kembali pada ibunya, bersatu dalam keluarga yang bahagia untuk dapat bersama merawat ibunya yang sakit, tentu kita akan ikut terharu. Semua orang pasti pernah merasakan menjadi seorang anak, berapa pun usianya saat ini, pasti dapat merasakan perasaan anak tersebut. Tidak ada satu anak pun di dunia ini yang menginginkan orangtuanya berpisah dan berbagi kasih selain pada ibu dan saudaranya.

Hati kita pasti kembali bergetar saat anak itu bertanya, bolehkah ia membenci ayahnya yang telah menyakiti hati ibunya. Terenyuh? Ya, karena rasa benci, sakit hati yang begitu mendalam bukanlah suatu yang layaknya dirasakan seorang anak, apalagi terhadap orangtuanya sendiri. Kalaulah diusia yang demikian muda ia telah diliputi suasana yang negatif, terbayangkah oleh kita bagaimana kehidupannya saat dewasa?

Anak itu bukanlah anak satu-satunya yang mengalami hal tersebut di atas. Hampir setiap kita menonton tayangan infotaiment berita mengenai keluarga yang bercerai yang menjadi berita heboh, bukan? Jangankan artis, kalaupun kita lebih cermati, dalam keluarga besar kita, tetangga, teman pasti akan kita jumpai masalah perselingkuhan dan perceraian.

Selingkuh? Rasanya makin lama kita makin sering mendengar kata itu bukan? Karena semakin sering, lama-kelamaan kata selingkuh bukan hal yang asing lagi bagi telinga kita. Mendengarnya menjadi biasa, melihatnya pun menjadi biasa. Goda kerlingan mata wanita, tapi senyum pesona dan kumis tipis pria pun turut menggoda. Dari obrolan sesama teman, alasan selingkuh pun semakin bervariasi. Bukan lagi sekedar alasan cinta, tetapi materi, kemapanan, status dan semua hal yang tidak pernah kita bayangkan bisa menjadi alasannya.

Seorang pemuka agama menyampaikan dalam nasehatnya untuk sebuah pernikahan yang bahagia, bahwa pernikahan hanya akan berhasil apabila hubungan masing-masing pribadi di dalamnya terdapat SALING… Saling memikirkan pasangan, saling memperhatikan, saling membutuhkan, saling berbagi, saling menolong dan saling-saling lainnya. Apabila kita memikirkan, memperhatikan, menyayangi anggota keluarga dalam pernikahan itu, maka kita tidak akan mau menyakiti dan membuat keluarga kita menjadi tidak bahagia.

Dalam sebuah buku ‘Perkawinan Bahagia’ yang merupakan kumpulan tulisan Bapak R. Soenarto ada resep untuk membina keluarga bahagia yaitu:
1. Saling mengingatkan dalam melaksanakan ajaran Tuhan
2. Menikah dengan restu orangtua atau wali dan diresmikan dalam lembaga pernikahan yang sah.
3. Rasa cinta dan kasih sayang yang menjadi dasar pernikahan hendaknya senantiasa dijaga dan dipupuk dengan :
– Saling asih-asuh
– Saling memaafkan
– Saling menghormati
– Saling menunjukkan perhatian

Semua rumah tangga pasti pernah mengalami permasalahan seperti layaknya sebuah bahtera yang mengarungi lautan. Bila laut tenang, bahtera berjalan mulus. Penumpangnya bisa berjemur menikmati hangatnya matahari, menghirup aroma laut, merasakan sejuknya angin.

Namun kadang kala bahtera harus menghadang badai, terpa ombak yang mengharuskan nahkoda dan seluruh awaknya bekerja keras mengendalikan bahtera agar tetap pada jalurnya dan selamat keluar dari badai yang menghadang. Segala persoalan hendaknya dihadapi dengan rela, narima dan rasa prihatin, pengendalian diri, mengerahkan segala upaya, saling memperhatikan, tolong-menolong, sesuai dengan peribahasa “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Seia sekata, sehidup semati” dengan cara inilah permasalahan yang dihadapi akan menjadi lebih ringan.

Seperti peribahasa “tiada gading yang tak retak”demikian pula pasangan kita. Masing-masing tentu memiliki kelemahan dan kekurangan. Apabila saat ‘pacaran’ semua dapat diterima, ibarat racun terasa madu, maka segala hal yang kurang berkenan yang dirasakan setelah pernikahan pasti dapat diselaraskan dengan tenggang rasa. Setiap pribadi pun harus mau mengintropeksi dirinya sendiri dan mau menerima saran dan kritik pihak lain, karena “gajah dipelupuk mata tak tampak, kuman diseberang lautan nampak”. Kunci dari semua hal di atas adalah kesabaran dan pengorbanan.

Pernikahan adalah lembaga praktek dalam kita membabar kasih. Inilah sarana terdekat dalam kita membentuk budipekerti luhur. Adakalanya seseorang bisa begitu sabar menghadapi orang lain dalam pekerjaan, namun saat kembali ke rumah seolah kesabaran itu tertinggal di kantor.

Anak yang rewel, perkara remeh, dapat menyulut kemarahan. Apabila kita dapat tidak jujur pada orang yang kita sayangi, bukan tidak mungkin kita pun dapat bersikap tidak jujur pada orang lain. dapatkah kita membahagiakan orang yang kita sayangi apabila kita tidak rela menyayangi dan memberikan yang terbaik, dapat menerima segala kekurangan dan kelemahannya?

Apabila orangtua dapat berbudipekerti luhur, dalam rumah tangga, niscaya cita-cita setiap orangtua memiliki anak-anak yang luhur budinya, luhur derajat dan mulia hidupnya dapat tercapai. Selain itu sikap ayah dan ibu terhadap anak adalah kesempatan yang bagus sekali untuk mematangkan kejiwaan si ayah dan ibu itu sendiri.
Tumbuh dan perkembangan seorang anak sangat dipengaruhi oleh iklim rumah tangga dan contoh-contoh yang diberikan oleh ayah, ibu dan saudara-saudaranya.

Di dalam Arsip Sarjana Budi Santosa, alinea 135, halaman 89 tahun 1989, disebutkan bahwa: “Pendidikan dengan menyediakan iklim dan pemberian contoh masuk ke dalam jiwa manusia melalui perasaan dan karena itu lebih mendalam dan meresap sampai kedalam bagian asadar dari jiwa. Maka dari itu iklim kancah pendidikan dan contoh adalah sangat penting” dan “iklim yang sebaik-baiknya ialah bila ayah dan ibu selalu rukun adanya” (Arsip Sarjana Budi Santosa, alinea 140 halaman 92, tahun 1989).

Apabila semua orang dalam pernikahan melaksanakan resep Bapak R. Soenarto di atas dengan sebaik-baiknya, tentulah tidak akan ada seorang anak yang membenci orang tua. Tidak ada seorang anak yang menitikkan airmata, menangisi hal yang tidak sepatutnya dirasakan. Karena tangis seorang anak adalah tangis kita bersama. Senyumlah anak Indonesia!

Penulis tinggal di Jakarta

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS