Tak Ada Makan Siang Gratis

Loading

index.jpg2

Oleh: Fauzi Aziz

 

UNGKAPAN ini cukup populer dan sepertinya biasa-biasa saja jika konteksnya terkait dengan makna yang sebenarnya. Tapi menjadi fenomena menarik tatkala ungkapan tersebut menjadi sebuah realita ketika kita berurusan dengan soal pelayanan publik bahkan dalam hal urusan pribadi.

Ungkapan tidak ada makan siang gratis memberikan legitimasi bahwa ekonomi berbasis uang telah melilit dalam kehidupan seseorang siapapun mereka dan apapun kedudukannya. Budaya making money telah menjadi keniscayaan karena uang selain berfungsi sebagai alat pembayaran, juga bisa ditransaksikan bahkan bisa “dicuci” yang sering  disebut money laundry. Karena tidak ada makan siang gratis, semua orang harus mempunyai uang untuk mencukupi berbagai kebutuhan. Uang yang bisa ditransaksikan adalah kerena uang telah berubah fungsi, yang semula hanya dipakai sebagai alat pembayaran, berkembang menjadi “komoditas” sehingga kita mengenal ada institusi pasar, pasar uang.

Tidak ada makan siang yang gratis telah menciptakan budaya perburuan rente. Telah menciptakan suatu lingkungan dimana antara manfaat dan mudlarat bercampur aduk. Tidak heran kalau kemudian kebiasaan korupsi berkecembah dimana-mana.

Di tempat yang basah dan kering sama saja. Saling “memangsa” terjadi dimana-mana melalui tradisi sogok dan suap. Lembaga perijinan menjadi mata dagangan. APBN/APBD dan BUMN/BUMN menjadi bancaan. BUMN didorong-dorong agar diprivatisasi karena disitu ada juga yang bisa dijadikan obyek bancaan.

Hasilnya akan bermuara pada tindakan pencucian uang dan karena keblingeran ini telah menyebabkan pelakunya terjerat dalam tindakan pidana.

Tidak ada makan siang gratis dalam spektrum kehidupan ekonomi yang lebih luas berdampak masif. Misal dalam tatanan ekonomi, kita menjadi terkena beban ekonomi biaya tinggi. Daya saing ekonomi Indonesia menjadi jeblok karena sistem ekonomi yang berjalan serba transaksional. Perburuan rente ekonomi terjadi, baik di pusat maupun di daerah. Izin Usaha Pertambangan ditransaksikan sampai diduga ada uang yang dicuci hingga mencapai puluhan miliar rupiah. Inilah fakta yang kita lihat dalam keseharian.

Berita duka saban hari menjadi sajian media, seakan negeri ini menjadi becek akibat menjadi korban endemik korupsi sehingga menjadi terkesan awut-awutan.

Biaya resmi dan biaya tidak resmi telah menyatu. Jangan kaget harga komoditi pangan di dalam negeri menjadi mahal karena banyak termakan oleh para pemburu rente. Karena banyak pihak saling menikmati, masalah ekonomi biaya tinggi di negeri ini menjadi bersifat laten.

Dari rezim ke rezim isu biaya ekonomi tinggi tidak pernah pudar karena para penikmat rente sudah saling “mengunci” uang. Ungkapan tidak ada makan siang yang gratis di negeri ini menjadi kebiasaan buruk. Korbannya kita semua karena secara relatif kita tidak pernah menikmati harga bahan pangan yang murah.

Negeri ini kaya sumber daya alam, tetapi tidak bisa menikmati harga gas yang rendah di kampungnya sendiri. Yang aneh, pemerintah tidak pernah berhasil mengatasi problem ekonomi domestik yang berbiaya tinggi. Aneh tapi nyata.(penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).

CATEGORIES
TAGS