Sudah Waktunya Pemprov DKI Tagih Utang Perumahan

Loading

Oleh: Anthon P.Sinaga

ilustrasi

ilustrasi

WAKIL Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama baru-baru ini mengatakan, bahwa para pembangun (developer) perumahan di DKI Jakarta yang telah memperoleh Surat Izin Penggunaan dan Penempatan Tanah (SIPPT) dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, mempunyai kewajiban untuk membangun perumahan dengan perbandingan 1:3:6. Artinya setiap membangun 1 rumah mewah, harus membangun 3 rumah menengah, dan 6 rumah murah. Kewajiban inilah sebagai utang yang akan ditagih, mengingat banyaknya warga DKI Jakarta dari golongan menengah ke bawah yang amat membutuhkan perumahan sekarang ini.

Sebagai contoh bukti pelaksanaan kewajiban ini oleh perusahaan pembangun (developer) perumahan, dapat dilihat di kawasan Senen, Sunter, Cempaka Putih, maupun Pluit. Di berbagai tempat tersebut, yang dulu dikenal sebagai kawasan Badan Otorita atau Badan Pelaksana Pembangunan (BPP) Senen, Sunter, Cempaka Putih dan BPP Pluit, terdapat pembangunan rumah mewah, rumah sedang, dan rumah murah. Sehingga, tidak hanya kalangan berduit yang tinggal dan memiliki rumah di kawasan tersebut, tetapi juga masyakat berpenghasilan menengah dan yang berpenghasilan rendah.

Namun, perusahaan pembangunan perumahan belakangan ini tidak lagi mengabaikan kewajiban sesuai ketentuan itu dan sepertinya bebas membangun menurut selera pasar, tanpa ada pengawasan. Seperti contoh, di kawasan Setiabudi dan Kuningan, Jakarta Selatan, yang hanya membangun rumah-rumah mewah dan apartemen-apartemen mewah, sebagai kawasan yang eksklusif. Pemilik kawasan tersebut, muncul seperti kerajaan tersendiri yang mengatur kelas bangunan dan tata ruang sendiri. Demikian juga di kawasan lain, seperti di daerah elite Pantai Kapuk, Kelapa Gading dll.

Sejalan dengan rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan membangun ratusan tower rumah susun untuk rakyat kecil atau untuk relokasi penampungan bagi ribuan warga kota yang tinggal di bantaran-bantaran sungai dan waduk, di kolong-kolong jembatan, maupun di daerah- daerah jalur hijau yang terlarang untuk tempat tinggal, maka sudah waktunya pemerintah daerah menagih kewajiban para pengembang perumahan yang hanya mengejar keuntungan itu. Harap diingat, bahwa tanah mempunyai fungsi sosial, tidak semata-mata untuk mengeruk keuntungan dengan memanfaatkan harga-harga yang terus melangit.

Untuk Pedagang Lemah

Sesunguhnya, ketentuan Pemerintah Provinsi DKI Jakatra, bukan hanya pengembang perumahan yang mempunyai kewajiban untuk membangun pemukiman untuk konsumen berpenghasilan rendah dengan perbandingan 1:3:6, tetapi juga bagi pembangun pasar-pasar modern, diwajibkan juga menyediakan tempat untuk pedagang ekonomi lemah. Bahkan, sudah ditentukan dengan SK Gubernur dan dikuatkan dalam Peraturan Daerah, bahwa dari seluruh areal pasar modern yang dibangun, harus disediakan 20 persen bagi pedagang ekonomi lemah.

Gubernur Joko Widodo dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, sebagai orang baru di DKI Jakarta, perlu membuka-buka lembaran lama tentang dokumen SK-SK Gubernur dan Peraturan- Peraturan Daerah yang masih berlaku untuk perumahan, maupun perpasaran, untuk mengetahui kelalaian anak-buahnya selama ini yang tidak melakukan penagihan dan pengawasan. Atau mungkin ada menerima kompensasi dari kewajiban pengusaha (developer) selama ini berupa uang atau lahan pengganti, tetapi tidak jelas lagi jumlah aset yang sudah diterima dan di mana tempat, serta tanggung jawab penggunaannya.

Tidak heran, bila ada pengamat dari kalangan akademis mengatakan, bahwa Jakarta merupakan rimba raya kekayaan. Artinya, masih banyak kekayaan-kekayaan tersembunyi yang bisa luput atau hilang, apabila tidak ditelusuri. Banyak kekayaan- kekayaan misteri yang bisa didapat, apabila rajin menyelidik dan mengumpulkan. Sebenarnya, untuk itulah dibutuhkan peranan pengawasan dari dewan perwakilan rakyat derah, dimana pemerintah daerah, menurut undang-undang, adalah eksekutif dan legislatif, atau Pemprov DKI dan DPRD DKI Jakarta. DPRD DKI harus aktif melakukan pengawasan dan mengingatkan eksekutif apabila ada kelalaian.

Selain perumahan dan perpasaran, sebenarnya aset-aset Pemda DKI banyak hilang dari kewajiban developper menyediakan fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) yang harus diserahkan kepada Pemerintah DKI Jakarta. Sehingga, dengan penerimaan fasos dan fasum tersebut, seyogianya tidak akan membuat Pemda DKI Jakarta kekurangan ruang terbuka hijau (RTH), untuk mewujudkan Jakarta sebagai kota dalam taman. Jokowi dan Basuki jangan bosan-bosan untuk menagih kekayaan Jakarta yang masih berwujud harta karun ini. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS