Soal Gepeng Tak Pernah Tuntas

Loading

Oleh: Anthon P.Sinaga

Ilustrasi

HAMPIR tiap tahun masalah gelandangan dan pengemis (Gepeng) di kota-kota besar di Indonesia, khususnya di kota Jakarta, selalu menjadi perhatian masyarakat yang tak kunjung tuntas. Bahkan, seolah-olah dijadikan proyek penggunaan anggaran bagi petugas-petugas di lapangan. Istilah kerennya, setiap tahun disebut, penertiban para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Mereka ditangkap, dijaring, dimasukkan ke penampungan, lalu katanya dibina atau dipulangkan ke daerah asal.

Aksi penertiban ini kelihatannya kurang manusiawi, karena banyak para Gepeng itu yang lari terbirit-birit ketika dikejar-kejar petugas yang terlihat sangar dan menghardik. Bahkan, pernah ada Gepeng yang cemplung ke air sungai karena ketakutan, dan mati. Ada pula yang menangis sejadi-jadinya dengan wajah yang sangat memelas, meminta belas kasihan.

Padahal, negara kita memiliki sebuah Kementerian Sosial dan hampir seluruh kementerian lainnya, mempunyai program kesejahteraan sosial. Bahkan, perusahaanswasta pun ada program CSR (Comunity Social Responsibility). Sebenarnya, subjek yang hendak diurusi pun sudah jelas ada dan terkumpul setiap tahun. Yang menjadi pertanyaan, mengapa soal Gepeng ini tidak habis-habisnya di negeri ini.

Pekan lalu, Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta, Kian Kelana mengatakan, pihaknya akan memulangkan sekitar 200 orang penyandang kesejahteran sosial jalanan ke daerah asalnya. Mereka dijaring dan ditangkap di persimpangan-persimpangan jalan yang ada di Jakarta. Pemulangan kali ini merupakan yang kedua kali selama bulan puasa ini. Pada minggu pertama puasa yang lalu, pihaknya sudah memulangkan 180 orang PMKS jalanan.

“Kami terus menjaga persimpangan yang kami nilai rawan PMKS jalanan. Di Jakarta ada 44 titik persimpangan yang rawan PMKS jalanan. Di antaranya ada 7 titik rawan yang menjadi fokus kerja dinas sosial. Yakni, perempatan Jalan Matraman, perempatan Jalan Pramuka, perempatan Coca Cola Cempaka Putih, perempatan Kelapa Gading, perempatan Jalan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), perempatan Jalan Fatmawati, serta perempatan Mampang-Kuningan,” ujar Kian Kelana pekan lalu.

Hampir separo penugasan dinas sosial di DKI ini mengurusi masalah gelandangan, pengemis, pelacuran atau pelaku perbuatan asusila lainnya. Tidak sedikit anggaran yang dihabiskan untuk mengurusi masalah ini, yang terus berulang setiap tahun. Lainnya, mengurusi panti-panti sosial anak yatim piatu, tuna netra, tuna rungu, lanjut usia, atau yang penyandang difabel lainnya, serta bila terjadi bencana banjir dan lainnya

Khusus kaum Gepeng ini, Kian menjelaskan, pemulangan ke daerah asal dilakukan hingga H-7 Lebaran. Setelah itu, PMKS yang terjaring sampai H+7 akan ditampung dulu di Panti Sosial Kedoya. Dengan demikian, mereka tidak bisa ber-Lebaran di kampung halamannya. Hal itu disengaja untuk menimbulkan efek jera bagi PMKS dari luar Jakarta yang datang saat bulan Ramadan, walaupun hal ini dapat dikategorikan tindakan yang kurang manusiawi dari sisi spiritual.

Kementerian Sosial

Soal Gepeng dan penyandang masalah sosial lainnya, perlu jalan keluar penyelesaiannya agar tidak menjadi perhatian yang mengenaskan masyarakat setiap tahun. Khususnya kota-kota besar dan kecil di Indonesia, setiap bulan puasa dan menjelang Lebaran, selalu kebanjiran para penyandang masalah kesejahteraan sosial.

Memang ada yang mungkin menjadikannya sebagai momen untuk mencari tambahan penghasilan, tetapi ada juga yang benar-benar tidak punya penghasilan yang layak hidup di daerah asalnya. Hal itu gampang diseleksi, karena mereka umumnya bisa ditelusuri di domisili asalnya.

Kementerian Sosial, sedianya lebih fokus lagi pada tugas intinya, untuk menghilangkan status masyarakat penyandang masalah kesejahteraan sosial di negeri ini. Dengan anggaran besar negara setiap tahun, seharusnya terlihatlah hasilnya yang nyata. Jangankan, seperti di negara lain para pengangguran pun ditanggung oleh negara dengan memperoleh tunjangan setiap bulan, para PMKS ini saja bisa diselesaikan, kita sudah bersyukur dan anggaran negara yang ada jangan sampai dikorupsi lagi dengan cara menggelembungkan harga sarung, mesin jahit dan sapi bantuan.

Apabila kaum gelandangan dan pengemis semakin berkurang tiap tahun, maka aksi penertiban oleh petugas-pertugas Satuan Polisi Pamongpraja yang beringas pun akan jarang menjadi tontonan. Harap diingat, aksi-aksi kekerasan yang diperlihatkan Satpol PP tersebut, bisa mempengaruhi mental dan budi pekerti anak-anak kecil yang menyaksikannya. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS