Saat Lobi Aroma Baunya Toilet Tak Lagi Berpengaruh

Loading

Oleh: Marto Tobing

ilustrasi

ilustrasi

AROMA baunya toilet akibat pembuangan isi perut para anggota DPR di gedung Senayan sana, tampaknya tak lagi berpengaruh ketika ada sesuatu yang mau dibicarakan secara rahasia. Toilet dijadikan sebagai wadah yang paling aman ketemu empat mata.

Namun dilupakan indra keenam wartawan yang meliput di lembaga legislatif itu tidak akan pernah redup menterjemahkan setiap gerap-gerik para wakil rakyat kakinya melangkah. Akibatnya pers berhasil mengungkapkan telah terjadi insiden “lobi toilet” yang dilakukan hakim yang menjadi calon hakim agung, Sudrajat Dimyati (SD) dengan anggota Komisi III DPR Bachrudin Nasori (BN).

Pertemuan in formal itu sangat tidak etis karena menyangkut keperluan keingintahuan data siapa saja dari hakim karir dan non karir yang mengikuti fit and proper test (uji kepatutan dan kelaikan) calon hakim agung. Daftar calon hakim agung diselembar kertas pun diserahkan. Padahal data-data tersebut seharusnya dipertanyakan di ruangan sidang saat berlangsung fit and proper test, bukan di “lobi toilet”.

Publik dapat menilai pertemuan kedua orang itu telah menyalahi norma-norma kepatutan sehingga jauh dari nilai peradaban intelektual. Bagaimana bisa dipahami secara adab, jika calon hakim agung bertemu anggota DPR secara informal di toilet, terkait proses seleksi calon hakim agung di Komisi III DPR?

Insiden lobi toilet itu bermula saat calon hakim agung SD bertemu dengan BN anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKB, di sela-sela proses uji kepatutan dan kelaikan hakim agung. Diduga ada lobi terkait dengan pemilihan calon hakim agung. Namun keduanya membantah adanya lobi dimaksud. Pertemuan dinyatakan tidak sengaja.

Menurut SD, pertemuan itu karena diminta menunjukkan data hakim karir. Namun apapun yang dilontarkan kedua figur “toilet” itu, yang pasti publik sudah semakin geram mendengar adanya mafia dalam seleksi calon hakim agung. Mafia mulai bergerak saat pencalonan hakim agung masuk tahap seleksi di Komisi Yudisial (KY) agar diloloskan masuk ke tahap fit and proper test di Komisi III DPR.

Oleh sebab itu, Badan Kehormatan DPR, KPK dan komisioner KY tidak boleh lagi berpangku tangan. Saatnya membongkar mafia yang masih bergentayangan hingga merusak marwah seleksi hakim agung yang saat ini sedang berlangsung. Semua pihak diharapkan mau berperan aktif sesuai porsi dan kapasitas kewenangan masing-masing untuk membongkar identitas dan mengusut tuntas keberadaan mafia di Komisi III DPR membersihkan sarat transaksional.

Oknum anggota Komisi III yang menjadi calo dalam seleksi hakim agung harus diberi sanksi hukuman maksimal karena keberadaan calon hakim agung dan anggota DPR itu harus diakui adalah sebagai representasi rakyat semesta. Bukankah perilaku kotor itu merupakan kejahatan berat dan tak dapat ditoleransi?

Komisioner KY Imam Anshori Saleh (IAS) tanpa tedeng aling-aling telah mengungkapkan ada praktik percobaan suap dalam seleksi calon hakim agung. IAS mengaku kerap mendapat telepon dari para anggota dewan dari beberapa fraksi. Mereka meminta calon tertentu diloloskan dalam seleksi awal calon hakim agung di KY. Anggota dewan itu bahkan sempat menjanjikan imbalan sebesar Rp 1,4 miliar (masing-masing komisioner Rp 200 juta) jika ketujuh calon dimaksudkan itu diloloskan, namun IAS menolak tawaran tersebut.

Dalam rapat pleno KY pada tahun 2012 untuk menentukan calon hakim agung yang diajukan ke Komisi III DPR seleksi selanjutnya, saat itulah IAS mengungkap adanya praktik suap itu. Alhasil seluruh komisioner KY sepakat calon yang dititipkan itu dinyatakan tidak lolos. Anehnya, keputusan tidak meloloskan itu sempat mendapat protes dari kalangan DPR.

Ketua Bidang Pengawasan dan Investigasi Hakim KY, Eman Suparman (ES) mengungkapkan bahwa identitas anggota Komisi III DPR yang mencoba menawarkan uang masing-masing Rp 200 juta kepada tujuh unsur pimpinan KY itu berasal dari Fraksi Partai Demokrat (FPD). ES mengaku mendapatkan informasi dari IAS, komisioner KY yang pertama membuka masalah ini ke publik.

Saat ditanya siapa orangnya yang dari FPD dimaksud, ES mengaku tidak tahu sebab IAS pun tidak membukannya. Namun, bila diminta bersaksi, ES siap melakukannya. Menurut ES pengakuan IAS tentang adanya tawaran uang tersebut memang benar adanya. Saat KY menggelar rapat pleno penentuan kelulusan calon hakim agung IAS mengungkapkan hal itu.

Kebobrokan para hakim kembali mewarnai keburukan wajah penegak hukum di era pemerintahan SBY sebagai penggagas jargon “Hukum Sebagai Panglima”. Sudah cukup banyak hakim yang ditangkap KPK saat menerima suap. Padahal gaji hakim ditambah tunjangan telah mencapai minimal Rp 15 juta per-bulan.

Lalu apa yang kurang? Kenaikan gaji hakim ternyata tidak berpengaruh kalau memang mentalnya sudah bobrok ya tetap bobrok saja. Nafsu untuk memperkaya diri sendiri melalui jabatan masih saja terus. Banyaknya hakim nakal menjadi bukti bahwa mafia peradilan memang banyak berselewiran. Untuk itu MA harus menggalakkan fungsi pembinaan dan pengawasan secara maksimal. Terutama kalau penerimaan hakim masih ada suap pasti akan melahirkan hakim yang mentalnya lagi-lagi hakim bobrok. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS