Politik, Kejar Tayang, Kejar Harta

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

SEPERTI sinetron dalam televisi hampir sering muncul istilah kejar tayang dan ujungnya adalah kejar setoran/kejar harta. Dalam situasi yang seperti itu, maka acapkali kualitas “diabaikan”, padahal kalau aspek kualitas diperhatikan, hasilnya pasti akan lebih baik. Baik dari sisi kualitas tayangan maupun dari sisi potensi mendapatkan nilai kebendaan/materi/harta.

Elit politik di negeri ini sampai sekarang mengelola politik masih seperti mengelola sinetron, yakni kejar tayang dan kejar harta. Jangan salahkan jika yang muncul ke ruang publik adalah istilah pragmatis dan transaksional. Pragmatis adalah kejar tayang, berpolitik hanya formalitas sehingga output yang dihasilkan menjadi rendah kualitasnya.

Publik sudah bisa melihat sendiri ketika DPR menjalankan fungsi budgeting dan fungsi legislasi. Timbangannya ketika proses penganggaran dan legislasi dilakukan, sikap pragmatisme lebih menonjol dibandingkan dengan menggunakan landasan yang lebih strategis sebagai referensinya.

Konkretnya tanpa ada sebuah grand design sebagai hasil konsensus dan kesepakatan politik dalam konteks bernegara. Menyusun APBN, membuat undang-undang adalah proses politik dalam rangka bernegara dan sedang melaksanakan konsttitusi negara. Ini yang dilupakan oleh elit politik di negeri ini sampai sekarang.

Transaksional adalah bahwa proses politik yang dilaksanakan secara umum selalu bermuara pada kapitalisasi aset likuid baik untuk kepentingan partai maupun para oknumnya. Karena itu, suap, sogok, KKN marak di partai manapun. Partai yang umurnya tua dan partai yang umurnya relatif muda sama saja memainkan sinetron politik dengan kualitas rendah, hanya sekedar kejar tayang dan kejar harta.

Politik uang, mahar bertaburan dalam nilai yang begitu besar, sehingga Bank Indonesia sampai berani membuat prediksi bahwa memasuki tahun politik jelang pileg dan pilpres uang yang berputar akan menyumbang PDB 0,2%. Sebagai publik tentu tidak bisa dilarang untuk mengatakan bahwa cara bernegara kita dewasa ini ada yang salah dalam konteks politik.

Kesalahannya harus dikoreksi. Dan dalam proses politik caranya beragam dari yang paling ekstrim, yaitu “revolusi” sampai yang tidak harus melakukan gerakan radikal, yakni melakukan self koreksi untuk melakukan perbaikan dan dalam konteks ke-Indonesiaan harus dilakukan atas dasar konsensus dan kesepakatan politik.

Landasan utamanya adalah nilai kemartabatan dan keadaban untuk membangun Indonesia baru yang beradab. Dikenal di dunia sebagai Indonesia yang beradab karena dinilai berhasil membangun peradabannya. Kalau transaksional yang mengedepan sebagai bentuk “doktrin politik” yang dianut, maka sangat berbahaya karena sikap politiknya akan sangat dengan ringannya mengorbankan kepentingan nasional.

Pembelaan kepentingan nasional hanya menjadi jargon politik, padahal praktek politiknya seratus delapan derajad berlawanan dengan semangat itu. Tidak heran publik menilai sepertinya negeri ini akan “dijual” atau “digadaikan” dan dikelola dengan sembrono. Inilah bahaya paling besar dari praktek politik kerja tayang yang hanya sekedar kejar setoran. Bahaya nyata yang paling merisaukan ternyata NKRI itu bukan milik kita lagi sebagai bangsa dan negara.Semoga menyadarkan kita semua. Amin. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS