Pemberian Grasi Corby Menyakitkan Terpidana Mati

Loading

Oleh: Marto Tobing

Corby - SBY

Corby - SBY

KEPUTUSAN Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan grasi 5 tahun kepada Schpelle Corby (Corby) dari vonis 20 tahun sangat menyakitkan khususnya bagi 11 terpidana mati yang sudah bertahun-tahun dalam penantian.

Sangat tidak manusiawi, selain permohonan grasi yang diajukan sejak tahun 2008 belum mendapat jawaban dari sang presiden, menyakitkan karena permohonan grasi sebagian besar di antara terpidana mati itu ditolak.

Mengenaskan karena mereka masih “terpenjara” waktu yang berkepanjangan menunggu saatnya dieksekusi termasuk para terpidana yang masih menunggu turunnya kepastian grasi,” keluh Sekjen Gerakan Anti Narkotika dan Psikotropika (GRANAT) Brigjen Purnawirawan (Pol) Ashar Suryobroto (Ashar) menanggapi konfirmasi Tubas soal pemberian grasi Corby dan penolakan grasi terhadap 11 terpidana mati kasus narkoba.

Menyakitkan atau menyenangkan bagi para pihak yang berhadapan, namun yang pasti masalah grasi adalah masalah hak prerogatif presiden yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun.

“Mahkamah Agung sekali pun tidak bisa mengintervensi itu,” tandas Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali (Hatta) kepada TubasMedia.Com saat dimintai tanggapannya melalui kontak telepon.

Menurut Hatta, putusan MA otomatis gugur dengan adanya grasi presiden. Hatta menduga pemberian grasi itu atas dasar kemanusiaan. Kendati mengaku tak bisa intervensi, namun Hatta berharap ada perlakuan hukum yang sama atas dasar kemanusiaan terhadap WNI yang tengah dihukum di Australia.

Namun Ashar mengkritisi jika rasa kemanusiaan dijadikan alasan memberi grasi terhadap Corby, kenapa 11 terpidana mati itu atas pertimbangan yang sama grasi tidak juga diberikan malah di antaranya diharuskan hanya menunggu dieksekusi entah sampai kapan.

Kemudian jika alasan pemberian grasi dilakukan sebagai perimbangan pertukaran tahanan WNI di Australia, menurut Ashar justru sangat berbahaya. Sebab para WNI yang ditahan otoritas Australia itu hanya para nelayan masuk wilayah tanpa dokumen keimigrasian dan tidak mungkin berakibat ancaman kriminalitas secara nasional hingga merusak generasi penerus kebangsaan Australia.

Sedangkan Corby masalah narkotika adalah kriminalitas membahayakan bagi kehidupan bangsa-bangsa dunia dan merusak keberlangsungan generasi penerus bangsa Indonesia. “Corby dihukum karena menyelundupkan 4 kilogram ganja ke Bali,” tandas Ashar menuding Corby atas kejahatannya.

Bahkan tanpa pemberian grasi kepada Corby, Pemerintah Australia dapat dipastikan mengembalikan para nelayan karena jumlah mereka itu ratusan telah menjadi beban tersendiri, baik secara keuangan mau pun fasilitas penampungan di Australia. Bahkan Australia di mata dunia bisa dituding melanggar HAM karena sebagian para nelayan ditahan tanpa diketahui kapan akan disidangkan.

Persetujuan antara Pemerintah Australia dengan Indonesia untuk mengembalikan para nelayan, akan melakukan proses hukum terhadap nelayan itu sesampainya di Indonesia. Oleh karena itulah Pemerintah Australia memesan pasal dalam undang-undang Imigrasi yang baru untuk mengkriminalkan para pelaku penyelundupan manusia termasuk para nelayan.

Penghukuman ini diharapkan menjadi efek jera bagi para nelayan. Jadi seorang Corby seakan dibarter dengan ratusan tahanan Australia asal Indonesia. “Disini ada diskriminasi terhadap warga sendiri seorang WN Australia dihargai dengan ratusan WNI,” tandas Ashar.

Grasi yang diberikan sang presiden kita ini tentu saja disambut gembira keluarga Corby. Bahkan Pemerintah Australia memberikan apresiasi keputusan SBY itu. Mercedes Corby kakak Corby itu, Kamis (24/5) mendatangi LP Krobokan Denpasar Bali.

Sebelum memasuki penjara, Mercedes menyampaikan terimakasih kepada Pemerintah Indonesia atas kemurahannya memberi grasi 5 tahun dari vonis 20 trahun yang tengah dijalani adiknya itu. Corby yang tertangkap tangan membawa 4 kilogram ganja saat ini telah menjalani 7 tahun masa tahanan. Dengan grasi itu Corby akan bebas pada tahun 2017.***

CATEGORIES
TAGS