Izin Tidak Bisa Dinegosiasi

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Fauzi Azis

Fauzi Azis

LEMBAGA perizinan di republik ini adalah sesuatu yang menarik. Saking menariknya, banyak orang ingin bekerja di bagian perizinan, khususnya di lingkungan birokrasi pemerintah. Lembaga perizinan itu dibangun dengan tujuan baik, yaitu agar segala bentuk kegiatan yang dilakukan masyarakat dapat berjalan tertib dan aman sesuai dengan koridor hukum dan norma umum yang berlaku. Maka dari itu, dalam lembaga perizinan selalu ditetapkan kriteria dan syarat-syarat serta prosedurnya untuk mengukur apakah sebuah kegiatan dapat dizinkan untuk diselenggarakan atau tidak.

Di bidang usaha masyarakat pasti mengenal berbagai jenis izin yang harus dipenuhi sebelum dan sesudah kegiatan usahanya dimulai.Misal izin gangguan/HO, SIUP dan lain lain. Membangun rumah perlu izin mendirikan bangunan (IMB) dan masih banyak lagi bentuk perizinan yang secara institusional pada umumnya menjadi kewenangan birokrasi pemerintah di pusat maupun di daerah.

Hal lain yang menarik dalam praktek penyelenggaraan perizinan ini adalah sistemnya yang “lentur sekali”. Padahal seharusnya sistem itu “tegak lurus”, berdiri sesuai norma hukum dan norma umum yang berlaku dan hanya bisa dipenuhi bila telah memenuhi kriteria dan syarat-syarat yang telah ditetapkan.

Jadi ketika permohonan izin itu diajukan, jawabannya hanya ada dua, izin diberikan atau izin ditolak. Lembaga perizinan harus dapat menjamin adanya kepastian hukum dan kepastian berusaha. Izin adalah sesuatu yang pasti dan tidak dapat dinegosiasikan untuk mendapatkannya. Biayanya juga pasti tidak boleh dirundingkan.

Tapi nyatanya, banyak izin yang diterbitkan akibat negosiasi. Padahal sebegitu mulia pekerjaan di lembaga perizinan. Tapi karena sistemnya boleh lentur, maka kegiatan “perburuan” dan” perdagangan” izin menjadi tumbuh subur dan berkecambah. Bahkan menjadi sebuah perburuan rente (rent secking) yang hingga sekarang masih terjadi dimana-mana karena sistemnya yang menjadi “lentur” tadi.

Yang menjadi dewa dalam sistem perizinan yang “lentur” dan “negosiable” itu adalah penguasa perizinan di satu lembaga birokrasi dan para broker perizinan serta para rent secker dan fulus (uang). Dengan fulus, semua mulus, nafi fulus semua urusan perizinan jangan berharap mulus.

Karena menjadi obyek perburuan dan sekaligus menjadi obyek dagang, maka izin menjadi sebuah komoditas yang bernilai ekonomi tinggi. Ada harga yang harus dibayar bagi yang benar-benar membutuhkannya. Akibat selanjutnya dan ini yang paling buruk, adalah izin menjadi obyek spekulasi dalam pengertian bahwa izin jatuh dan dikuasai oleh pihak-piahk yang tidak memerlukannya.

Contoh. Iin penguasaan lahan, banyak jatuh ke tangan para spekulan tanah dan mereka itu pasti berduit karena untuk melakukan perburuan izin penguasaan tanah, harus keluar duit yang tidak sedikit jumlahnya. Mudah-mudahan duit tersebut bukan hasil dari money laundry, hasil dari korupsi atau bisnis narkoba atau hasil judi di Monacco.

Manakala ada pihak yang benar-benar membutuhkan lahan untuk melakukan kegiatan investasi, maka si investor harus membayarnya dengann harga yang mahal karena lahan yang dikuasai pemilik sebelumnya adalah komoditas yang diperolehnya melalui izin penguasaan lahan yang didapatnya tidak gratis.

Tentu berakibat menjadi high cost. Segalanya menjadi serba mahal ketika investor akan melakukan usaha. Celakanya, sekarang ini bisnis dipembebasan lahan menjadi sangat sexy sehingga banyak pejabat dan petinggi daerah lupa daratan “mengobral” izin pembebasan lahan, izin tambang dsb, at all cost demi uang untuk kekuasaan.

Habis itu meringis hidupnya di balik jeruji penjara. Semua Alkitab disuruh dibawakannya ke tempat huniannya yang baru entah dibaca entah tidak. Semua kiai, ustad dan pendeta yang dikenalnya diundang ke penjara untuk mendoakannya agar Tuhan mau mengampuni segala perbuatan salah yang dilakukannya.

Orang lain diminta berdoa sementara dianya sendiri asyik pencet sana pencet sini i-pad, BB yang diselundupkan (entah oleh siapa) masuk ke dalam penjara untuk bisa digunakan berinteraksi entah dengan siapa pula dengan tujuan apa atau sesekali barangkali nonton atraksi Lady Gaga.

Tapi Lady Gaga punya nasib malang ketika akan melakukan show di Jakarta karena izin pertunjukkannya sedang dinegosiasikan dengan pihak yang berwenang sekaligus menunggu rekomendasi dari instansi lain. Rekomendasi terakhir sedang ditunggu dan ini yang paling menentukan, yaitu petuah bunyi sang tolek.

Celakanya tokek sekarang ini sudah langka dan hampir punah. Tokek tidak bisa hidup di ruang ber-AC dan tidak doyan fulus. Inilah sekilas kalau izin bersikap lentur dan negotiable, maka dari itu, izin harus tidak boleh dinegosiasikan. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS