Pegang Prinsip Kontinuitas Berproduksi

Loading

Oleh: Stevie Agas

Ilustrasi

JAKARTA, (TubasMedia.Com) – Film ke-36 produksi Maxima Pictures, dengan produser Ody Mulya Hidayat, menghadirkan cerita tentang anak-anak berjudul, Brandal-Brandal Ciliwung. Begitu kuat pesan moral yang terkandung dalam film yang dirilis di bioskop-bioskop Tanah Air pada 15 Agustus lalu itu. Bocah-bocah brandal dari pinggiran Kali Ciliwung menguraikan nilai-nilai persahabatan, kekeluargaan, pluralisme, perjuangan, dan kecintaan terhadap lingkungan.

“Kondisi Kali Ciliwung hanyalah sisi kecil dari potret buram yang menggenangi kehidupan di DKI Jakarta, terutama masalah lingkungan,” ujar Ody seusai press screening film tersebut, di Gedung Setia Budi, Jakarta, baru-baru ini.

Meski film anak-anak, tepat juga film itu ditonton oleh orang-orang tua, karena pesannya up to date dan menyentuh lintas kalangan. Itulah sebabnya film ini ditayangkan pada masa libur Lebaran yang lalu. “Harapannya, orangtua bersama anak-anak mereka dapat menontonnya,” ujarnya.

Bukan tanpa alasan Sekjen PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia) ini tiba-tiba memproduksi film anak-anak. “Film anak-anak di Indonesia masih sangat minim jumlahnya. Padahal, anak-anak mesti diajari banyak hal yang bermanfaat, salah satunya lewat film,” katanya.

Ody pertama kali terjun ke film tahun 2003 atas ajakan seorang temannya. Sebelumnya, dia hampir sepuluh tahun bekerja di sebuah bank di Jakarta. Jabatan terakhirnya di bank itu manager promosi dan komunikasi.

Sebagai pendatang baru di dunia film, yang kala itu dia bergabung dengan production house (PH) bernama Met Film, Ody menemukan banyak hal yang mengganjal di benaknya. Biaya produksi film sering meningkat tanpa alasan yang jelas. Begitu pula jumlah kru, begitu banyak, yang kerjanya tumpang-tindih. Hal yang paling tidak logis menurutnya, ketika anggaran dibuat untuk sebuah film dengan awak 120 orang. “Apakah kita membuat film kolosal?” guraunya.

Ia terus belajar sambil mengawasi proses produksi. Setelah hampir empat bulan pertama, ditambah dengan pengalamannya di bank, dia pun menemukan formula yang tepat untuk meminimalkan biaya. Met Film saat itu berkonsentrasi memproduksi dua divisi, yaitu sinetron dan FTV.

Namun, memproduksi sinetron dan FTV kurang mendukungnya untuk tetap bertahan. “Terutama kesempatan untuk berkreasi secara bebas dan leluasa, kurang terjamin. Kita diatur oleh programmer sinetron dan FTV,” ujarnya.

Sebab itu, akhir 2005, Ody mencoba berkiprah ke layar lebar dengan mendirikan Maxima Pictures. “Di sini kita lebih fair dalam hal memilih judul, cerita, para pemain, dan lainnya. Lebih bebas kita berekspresi dan berkreatif, serta lebih meyakinkan kita sendiri bahwa film ini akan bisa berjalan,” jelasnya.

Efisiensi biaya dan perampingan jumlah kru pun semakin dia nyatakan di Maxima Pictures. Dalam memproduksi sebuah film, dia memulainya dengan menemukan alur cerita. Setelah itu, dia meminta penulis untuk membuat script-nya. Berikutnya adalah casting dan membuat perhitungan biaya. “Jadi, saya tidak menunggu skenario, tetapi kita menciptakan ide lalu selanjutnya ide itu diberikan ke penulis,” katanya.

Tak Batasi Genre

Debut pertama Maxima Pictures adalah memproduksi film Cinta Pertama (First Love) yang premiernya dilakukan pada Desember 2006. Hingga kini, Maxima Pictures telah menghasilkan 36 film.

Banyak film yang diproduksi menerima banyak pengakuan dan pujian, tapi juga kritikan, seperti The Butterfly (2007) yang sukses memenangkan Penata Musik Terbaik pada Festival Film International di Bali, dan Air Terjun Pengantin (2009) yang premiernya dilakukan pada Festival Film International di London, 2010. Sebagian besar film produksi Maxima Pictures sukses di pasaran, dan tak sedikit di antaranya masuk box office.

Menurut Ody, Maxima Pictures sesungguhnya tidak membatasi genre dalam memproduksi film. “Sejauh ceritanya menarik, apa pun genre-nya kita akan produksi sebagaimana yang sudah terjadi. Hingga kini sudah banyak film yang saya produksi bergenre drama,” lanjutnya.

Walau begitu, pembuatan film horor tetap dipertahankan dengan menghadirkan cerita yang kuat yang menarik bagi masyarakat penonton. Dari pengalaman selama ini, masyarakat menilai, Ody tak hanya menghadirkan film bergenre horor, juga beberapa film yang adegan-adegan tertentu dinilai kontroversial dan sensasi.

Beberapa pertanyaan muncul di benaknya dan juga dilontarkan oleh teman-temannya: Kenapa film Indonesia tidak dilirik banyak orang? Apa masalahnya?

“Ya, ada yang dating, tapi pemain lama. Saya melihat harus ada pemain asing yang sedang top. Kalau perlu yang kontroversial. Waktu itu, Pamela Anderson, yang main Baywatch datang ke mari. Itu ramai. Di antara teman-teman tercetuslah Maria Ozawa. Lagi ngetren waktu itu. Tapi, tak mudah mendatangkan Maria Ozawa, harus ada izin dan lain-lain. Kami meyakinkannya selama 10 bulan agar Maria Ozawa mau main film. Bahkan, pertaruhannya adalah Indonesia, karena tiga negara, yaitu Jerman, Prancis, dan Jepang menantinya. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS