Pedagang Rongsokan Sangat Menghargai Hak Pemulung

Loading

Oleh: Marto Tobing

Ilustrasi

Ilustrasi

“Pak…maaf..saya numpang teduh boleh pak..?”
“Silahkan..banyak rezeki pak..?”
“Amiin…lumayan pak buat sekedar makan..!”
“Barang rongsokan apa saja yang bapak beli..?”
“Barang apa aja asal cocok harga.”
“Lho..itu setumpukan kardus di tong sampah ambil aja pak,,!”

“Waah nggak pak..! Kardus di tong sampah itu bukan hak saya. Itu hak Pemulung. Hak saya barang rongsokan yang ditawarkan pemilik rumah. Kardus seperti di tong sampah itu juga saya mau asal dari rumahan saya beli. Sebab yang di tong sampah kan milik Pemulung,” ujar Mamad pembeli barang rongsokan itu dengan nada datar.

Menurut Mamad, tidak berniat memungut kardus di tong sampah bukan karena peraturan atau adanya perjanjian tak tertulis (traktat) dengan pemulung atau pun karena norma-norma. Namun, Mamad berpegang teguh pada komitmen dan konsisten sebagai pembeli barang rongsokan sehingga merasa tidak patut memungut hak orang lain yang bekerja sebagai pemulung. “Saya malu kasi makan isteri dan kedua anak saya hasil kardus di tong sampah yang bukan hak saya, itu aja,” ujar Mamad bicara polos.

Percakapan lepas itu terjadi Kamis lalu (17/5) antara pemilik rumah dengan Mamad pedagang barang rongsokan, di kawasan Perumahan Pondok Mekarsari Permai Cimanggis Depok Jabar.

Jika Mamad begelimang dengan barang rongsokan kehidupan yang serba kurang itu masih tetap menghargai hak Pemulung, maka bagaimana pula para anggota DPR yang selalu bicara atas nama rakyat bahkan bergelimang harta mengerus hak-hak kesejahteraan jutaan “Mamad” lainnya?

Mereka seakan tak perduli lagi dipredikatkan sebagai koruptor. Jika Mamad hidup dari barang rongsokan maka di antara mereka yang di Senayan sana banyak yang hidup pada landasan hatinya yang sudah rongsok tak perduli dengan cara “merampas” hak-hak kesejahteraan jutaan “Mamad” dan ratusan ribu Pemulung.

Di antaranya, Muhammad Nazaruddin, Nunun Nurbaetie, Mindo Rosalina Manulang, Angelina Sondakh, Miranda Goeltom, Panda Nababan, mantan Gubernur Sumut Syamsul Arifin, mantan Jaksa Urip Trigunawan dan masih banyak lagi para pendulang harta berhati rongsok.

Indonesia Corruption Wacht mencatat 48 koruptor belum dieksekusi termasuk 17 koruptor di antaranya 12 pejabat di Riau dan lima di Jakarta. Lambatnya eksekusi diduga sarat pengaruh jabatan dan uang. Sebagai contoh, Agus orang nomor satu di Provinsi Bengkulu ini selalu menolak di eksekusi dengan alasan sedang mengajukan upaya hukum “luar biasa” Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Maka dimaklumi saja kenapa ke-48 koruptor belum dieksekusi oleh kejaksaan. Para penjahat “luar biasa” ini tidak bodoh. Celah upaya “luar biasa” mengajukan PK dikondisikan sebagai jalan pintas.

Koruptor dalam kasus pengemplangan BLBI kerugian negara triliunan rupiah juga belum dieksekusi. Alasanya masih mengajukan upaya hukum PK ke MA. Modus ini juga dipakai Kejari Serang Banten belum mengeksekusi Edi Hidayat mantan Camat di salah satu pemerintahan kecamatan Provinsi Banten.

Edi telah divonis 2 tahun penjara oleh MA pada 20 April 2009 karena korupsi pengadaan lahan jalan di desa kecamatan sebesar Rp 3 miliar. Namun hingga dua tahun pasca vonis, koruptor ini belum juga di eksekusi. Bahkan dalam statusnya sebagai terpidana Edi masih diberi “hadiah” menduduki jabatan baru sebagai Camat Bojonegoro Banten.

Mantan Dirut PT. TVRI Suminta Tobing juga belum dieksekusi. Pasalnya, meski putusan MA diketuk pada 6 Januari 2011 salinan putusan baru diterima pihak PN Jakpus satu tahun berikutnya. Kini Suminta enggan dieksekusi lantaran putusan dinilai salah administratif.

Terpidana Agus R. Gubernur Bengkulu terpilih periode 2010-2015 ini tidak pernah ditahan. Begitu juga detik-detik penangkapan mantan Bupati Rokanhulu, Ramlan berstatus buron.

Mantan Ketua DPD Golkar Riau ini ditangkap di Terminal II.S Bandara Soekarno Hatta saat menjemput isterinya. Ramlah telah divonis 3 tahun penjara oleh MA sejak 28 April 2008, karena korupsi dana APBD tahun 2003 sebesar Rp 3,5 miliar.

Begitu juga terpidana Erwin dan Roni. Putusan MA sudah divonis sejak April 2008 salinan putusan baru diterima tahun 2010. Lambatnya eksekusi juga menyebabkan empat terpidana korupsi proyek pengadaan minyak sawit mentah dari Bulog divisi Riau menjadi buron dari hukuman masing-masing 4 tahun penjara pada tahun 2009. Mereka ini sepatutnya malu terhadap Mamad yang sangat menghargai hak Pemulung. ***

CATEGORIES
TAGS