Mungkinkah Pekalongan Menjadi Basis Produksi Garment
Oleh: Fauzi Aziz
JUDUL tulisan ini adalah juga sekaligus pertanyaan yang harus dijawab oleh Bupati dan Walikota Pekalongan beserta masyarakatnya. Secara historis, Pekalongan dikenal sebagai kota dagang sebab sebagian besar masyarakatnya hidup sebagai wirausahawan dan berlangsung turun temurun.
Talenta dan bakatnya cukup mengakar hingga sekarang. Pusat produksi stagen pada zaman awal kemerdekaan, Pekalongan tempatnya. Pusat produksi sarung pelekat, Pekalongan juga tempatnya. Apalagi batik, masyarakat se-Indonesia menempatkan Pekalongan sebagai soko gurunya.
Sekarang ini sebenarnya Pekalongan sudah bisa disebut sebagai salah satu kota garmen di Indonesia. Sebut saja misalnya sebagai penghasil garmen (celana, baju untuk orang dewasa dan anak-anak) dari bahan kain denim. Pak Wali dan Pak Bupati berkolaborasilah membangkitkan ekonomi Pekalongan dengan menempatkan posisi daerah ini sebagai pusat produksi garment.
Modalitasnya sudah anda miliki dari sisi semangat kewirausahawanan masyarakatnya dan faktor kesejarahan. Kenaikan upah buruh di DKI dan Jabar pada kisaran 40-70% menyebabkan Pekalongan memiliki adventage yang sebagai sentra produksi garment di Jawa Tengah.
Sebagai kota di tengah Pantura Jakarta – Surabaya, posisinya secara ekonomi sangat diuntungkan letaknya persis 400 km arah Jakarta dan 400 km arah Surabaya. Menuju ke Semarang sebagai ibukota propinsi hanya 100 km. Dengan jalan darat bisa ditempuh hanya sekitar 2 jam perjalanan.
Dengan kereta api, jalur ganda Jakarta-Surabaya diperkirakan selesai akhir tahun 2013, belum lagi proyek jalan tol. Lagi-lagi posisi Pekalongan diuntungkan karena hampir semua kereta api lintas utara berhenti di Pekalongan. Jika anda ke Pekalongan naik kereta api dari Jakarta, hanya ditempuh sekitar 4 jam dan dari Pekalongan ke Surabaya antara 4,5 sampai 5 jam.
Di sekitar stasiun, Pak Bupati dan Pak Wali bekerjasama membangun gudang konsolidasi barang jadi untuk memudahkan pengangkutan ke berbagai kota di Indonesia, baik melalui jalur KA maupun jalan raya.
Untuk menekan ongkos logistik, perlu bangun fasilitas parkir yang memadai untuk angkutan truk di sekitar pergudangan tadi, dimana akan ditempatkan pusat-pusat produksi tersebut. Tidak sulit melakukannya, kalau-pun terbentur, ini hanya persoalan tata ruang. Sebagai perbandingan, Kabupaten Purbalingga saja berhasil menjadi pusat produksi rambut palsu (wig) dan bulu mata palsu yang hasil produksinya diekspor ke berbagai negara. Demikian juga kenalpot.
Padahal secara geografis letak Purbalingga jauh dari Pantura. Dari teori lokasi, sebenarnya tidak terrlalu menguntungkan industri semacam itu tumbuh di tempat seperti Purbalingga.Tapi jika anda tanya kepada investornya apa yg menjadikan daya tariknya, maka jawaban adalah hampir sebagian besar wanita di Kabupaten Purbalingga mempunyai bakat yang produktif untuk menjadi pekerja di pabrik wig dan bulu mata. Pelayanan Pak Bupati dan jajarannya dinilai sangat kooperatif dan prima dalam melayani kebutuhan para investor.
Semestinya Pekalongan harus lebih memungkinkan karena adventage jauh lebih banyak dimiliki oleh Pekalongan dibandingkan Purbalingga. We can do it Pak Wali dan Pak Bupati. Ajak masyarakat untuk memulainya. Semoga Pekalongan akan dilirik oleh masyarakat pebisnis dan masyarakat luas di Indonesia, bukan sebatasi kota batik lagi, tetapi sudah menjadi pusat garment di Indonesia dan bahkan di Asean.
Ingat tahun 2015 Asean FTA dimulai dan tempat-tempat yang paling efisien yakni yang pelayanan birokrasinya cepat, murah dan mudah, akan menjadi pilihan sebagai pusat-pusat produksi. ***