Memberantas Sindikat Narkoba Bak Mengurai Benang Kusut

Loading

Oleh: Marto Tobing

Ilustrasi

Ilustrasi

MEMBERANTAS sindikat narkoba bukan pekerjaan yang gampang. Tingkat kesulitannya sangat amat sehingga harus dianalogkan bak mengurai benang kusut. Betapa tidak. Selain penistaan atas komitmen yang sering dikumandangkan para elite termasuk orang nomor satu di republik ini, justru peran penegak hukum juga turut serta memberi peluang menjadikan komunitas peredaran narkoba sebagai ajang traksaksi bisnis yang semakin menggiurkan.

Pelabuhan, bandara dan tepi pantai dijadikan para gembong sebagai arus lalu-lintas pemasokan narkoba siap memangsa generasi bangsa untuk dirusak berantakan. Kasat mata fakta, ternyata benang kusut itu semakin babaliut saja untuk diurai.

Oknum Polisi dari Polsek Pademangan Jakut, Pangihutan Siahaan (PS) dituntut 5 tahun 6 bulan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Doddy Tambunan SH di hadapan ketua majelis hakim Ny. Puji Astuti di PN Jakut. PS dituduh memiliki narkoba jenis ganja.

Fakta persidangan terungkap, ganja sisa pakai yang berserakan di ruang karaoke Marina Ancol kemudian dipungut petugas, itulah yang dijadikan barang bukti untuk menyeret PS sebagai terdakwa. Padahal saat penggerebekan PS tidak berada di tempat kejadian, namun JPU tetap saja bersikeras bahwa PS ditangkap saat itu.

“Tidak benar saya ditangkap. Saya datang sendiri ke kantor memenuhi panggilan komandan saya karena sebelumnya absen mengikuti upacara dan tidak ada kaitannya dengan narkoba,” jelas PS menampik tudingan JPU.

“Yang pasti klien saya diskenariokan. Sebab barang bukti itu tidak dapat dipastikan siapa pemiliknya tapi disebut-sebut atas nama Kapolseknya. Benar tidaknya isu itu kami akan usut,” ujar Pengacara Restu SH selaku kuasa hukum PS. Menyangkut kondisi fisik PS, dari hasil pemeriksaan dinyatakan negatif tidak mengandung unsur menggunakan narkoba.

Di pengadilan yang sama, lagi-lagi oknum polisi disidangkan di hadapan ketua majelis hakim Zaenuri. Dinyatakan terbukti memiliki 0,8 gram narkoba jenis shabu-shabu, anggota Polres KPPP Pelabuhan Tanjung Priok Jakut itu yakni Ajun Komisari Polisi (AKP) Willy Oscar, Briptu Yani Indra dan Nina Romlah (sipil) oleh JPU Ny. Soimah dari Kejati DKI Jakarta, dituntut masing-masing 1 tahun penjara. Namun majelis hakim memberi keringanan ketiganya divonis masing-masing menjadi 3 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun kurungan.

Benang kusut itu juga melilit Mahkamah Agung (MA), mencabut vonis mati terpidana Deni Setia Mahaewa alias Rapi Muhammed Majid, gembong narkoba sindikat internasional. Sikap MA ini membuat Badan Narkotika Nasional (BNN) khawatir peredaran narkoba akan semakin merajalela. BNN menilai putusan MA mencabut vonis mati menghambat upaya memerangi sindikat peredaran dan penyalahgunaan barang haram itu.

Juru Bicara BNN Sumirat mengklaim, hukuman mati tidak melanggar HAM dan UUD-1945. “Karena itu sepatutnya MA menjatuhkan hukuman yang berat untuk membuat jera pengedar narkotika. Hukuman mati masih sah dan masih bisa digunakan dan dinyatakan pada saat judicial review tidak melanggar HAM dan UUD-1945,” jelasnya.

Benang semakin kusut. Berdasarkan data yang dihimpun, tercatat Presiden SBY telah memberikan grasi kepada tiga pelaku narkoba kelas kakap WNA asal Australia, Schapelle Leogh Corby, Deni Setia Maharwan dan Merika Pranola alias Ola. Apa pun alasannya seharusnya tidak boleh ada kompromi bagi gembong narkoba.

Apalagi dalam kasus Deni dan Ola MA telah memberikan pertimbangan dan berpendapat tidak terdapat cukup alasan untuk memberikan grasi kepada mereka terpidana mati itu. MA mengusulkan agar permohonan grasi itu ditolak. Saat ini sudah 15 ribu anak bangsa mati sia-sia karena penyalahgunaan narkoba dan 3,8 juta pecandu berada di Indonesia yang tiap tahun akan meningkat. Kalau tidak diperangi sungguh-sungguh, dikhawatirkan peningkatannya akan lebih membahayakan lagi.

Benang yang dikusutkan hakim agung Ahmad Yamani ini lebih rawan lagi. Plintat-plintut alasannya mengundurkan diri semakin dicibir publik. Awalnya mengaku sakit belakangan karena unprofesional conduct berupa kesalahan penulisan putusan. Pendirian tidak tetap ini menbuat Komisi Yudisial (KY) curiga.

“Sebagai lembaga tinggi negara yang diperintahkan konstitusi mengevaluasi dan menjaga kehormatan hakim, Yamani dinilai bersalah memalsukan keputusan majelis dari 15 tahun menjadi 12 tahun penjara,” tandas Wakil Ketua KY Imam Anshari Saleh menanggapi Tubas dalam pesan singkatnya, Rabu (21/11).

Tidak hanya itu, Yamani juga harus berani mengungkapkan apa yang mendasari dia memalsukan putusan tersebut. Apakah murni karena un profesional conduct atau ada unsur uang. “Apakah karena uang yang mendorongnya memalsukan putusan itu atau karena tekanan,” tandas Imam. Vonis untuk Hengky 15 tahun penjara namun ditulis Yamani selaku anggota majelis hakim menjadi 12 tahun saja dengan tulisan tangan. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS