Membaca Rapor Itu Penting

Loading

Oleh : Fauzi Azis

Ilustrasi

Ilustrasi

RABU, 20 Juni 2012 membaca headline Kompas halaman muka cukup mengagetkan. Posisi Indonesia memburuk, urutan ke-63 indeks negara gagal. Tiga indikator yang menyebabkan peringkatnya menjadi seperti itu, yakni 1) HAM dan penegakan hukum. Saat terjadi pelanggaran HAM, negara dinilai gagal memenuhi kewajibannya menegakkan HAM warga negaranya.

2) Tekanan demografik. Munculnya berbagai masalah yang terkait kepadatan, pertumbuhan dan penyebaran penduduk yang tidak seimbang menunjukkan kegagalan negara melindungi warganya.

3) Protes kelompok-kelompok minoritas dalam masyarakat. Banyaknya kasus kekerasan dan diskriminasi antar kelompok masyarakat berbasis agama atau etnis menunjukkan ketidak mampuan negara menjamin keamanan negaranya.

Posisi 63 indeks negara gagal, berarti Indonesia masuk kategori negara-negara yang dalam bahaya (in danger) menuju negara gagal. Wow, tidak enak benar mendengarnya, merinding dan langsung membuat badan panas dingin. Tapi apa mau dikata itulah rapor negeri ini yang kita terima hari ini melalui media Kompas. Mau dibantah? apa ada gunanya? Ya sudah kita terima saja apa adanya.

Tiga indikator yang disebutkan tadi, kalau kita jujur sepertinya benar semuanya tuh. Kasat mata kita semua tahu bahwa peristiwa kemanusiaan dengan kreteria tersebut memang terjadi. Namun kita tidak pernah memberi penilaian seperti itu. Tega benar ya, sepertinya tidak santun amat menyampaikannya. Sedih dan pilu hatiku.

Apakah para elit kita kira-kira punya perasaan yang sama seperti apa yang kita rasakan? Jangan-jangan malah hanya pada cekikikan doank dan salah-salahan. Atau jangan-jangan sedang menyiapkan tanggapannya dan akan meresponya dengan ucapan standar. Misal, tidak sepenuhnya benar penilaian itu.

Terlalu tendensius dan sarat dengan kepentingan politis. Ini respon standar yang sering masyarakat sudah bosan mendengarnya. Masak in danger? Sontoloyo hasil penilaiannya, bikin kita susah saja. Nambah kerjaan saja. Kalau bapak presiden sudah membacanya, sebagai manusia biasa pasti beliau akan tersenyum dan sambil mbatin, kok jelek amat rapor negeri ini.

Lepas dari semuanya, legowo saja kita terima rapor merah yang seperti itu. Kita harus bersyukur dan berterima kasih kepada lembaga pemeringkatnya. Mereka sayang sama kita. Wong negara besar, emerging market, mendapat status invesment grade, kok dibilang in danger.

Dia mengingatkan kepada kita semua, wabil khusus para elit di negeri ini, kalau andaikata Indonesia tidak dalam posisi in danger, negeri ini pasti bisa lebih baik lagi posisinya dalam kehidupan politik, ekonomi dan hukum. Rapor merah memang tidak mengenakkan, tapi kalau itu kita terima sebagai suatu sinyal bahwa ada yang salah di negeri ini harus bisa diperbaiki agar rapornya menjadi biru. Karena itu rapor penting bagi kita.

Apalagi kita ingin naik kelas. Ingin menjadi bangsa dan negara yang maju dan bersaing, maka rapornya harus biru. Indeks prestasinya juga riil, tidak semu dan tidak dibuat buat atau dikarang karang. Menjadi orang pintar juga kelihatan. Menjadi orang bodoh juga gampang dikenali. Semua itu harus menjadi pengalaman buat kita semua. Becik ketitik, olo ketoro. Jadi itulah gunanya membaca rapor.

Kalau mau naik kelas mesti pintar, tidak cukup hanya pintar saja, tapi juga jujur. Membaca rapor itu penting agar kita selalu ingat bahwa ada yang belum beres. Ada yang perlu di-upgrade agar nilainya baik. Catatan akhir tentang rapor merah negeri ini bukan hanya itu, masih ada lagi yang lain. Tapi kalau kita berusaha keras dengan kerendahan hati, Tuhan menjamin akan memberikan jalan keluarnya.***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS