Masyarat Harus Memberi Sanksi Sosial Bagi Koruptor

Loading

Oleh: Marto Tobing

ilustrasi

ilustrasi

SEJAK terpilihnya Abraham Samad sebagai Ketua KPK, sejak saat itu pula rasa optimisme rakyat semesta semakin bergelora. Sebab, tidak ada lagi segores uraian sikap sebagai pemberian ampun bagi penjahat korupsi tak terkecuali atas penuntasan kasus ballout Bank Century, korupsi di Proyek Hambalang dan Wisma Atlet yang selama ini dinati-nanti, kini sudah sedang dalam proses. Namun penuntasan kejahatan korupsi secara menyeluruh hanya bisa efektif apabila Kepolisian, Kejaksaan dan KPK tetap pada komitmen saling mendukung dan bekerja secara profesional, jika tidak ingin menyaksikan negeri ini bangkrut dan komunitas sosial menjadi keos.

Gejolak keos adalah sebagai dampak ikutan yang harus ekstra serius untuk diantisipasi agar tidak terjadi. Tak terkecuali peranan masyarakat luas pun sangat diharapkan agar secara proporsional pro aktif turut memberikan sanksi sosial terhadap para koruptor. Bisa dibayangkan betapa kejahatan korupsi sudah berada pada tingkat kemarahan rakyat. Padahal rakyat sedemikian patuh membayar pajak, sementara kejahatan luar biasa ini faktanya dilakukan oleh oknum aparat paling rendah hingga pejabat tinggi negara.

Dalam rekaman TubasMedia.Com, pada tahun 2011 tercatat sebanyak 436 kasus korupsi melibatkan 1053 orang tersangka dan potensi kerugian negara mencapai Rp 2.169 triliun. Ironisnya kejahatan “kerah putih” itu dilakukan pegawai negeri sipil (PNS). Tersangka berlatar belakang birokrat ini menempati urutan teratas dengan jumlah 239 orang. Urutan berikut disusul 190 orang direktur atau pimpinan perusahaan swasta namun, kebobrokan ini juga diikuti oleh 99 orang anggota DPR dan DPRD. Korupsi ternyata bukan monopoli elite partai atau penguasa. Semangat merampok uang negara itu telah dipraktikkan generasi muda di kalangan birokrasi seolah terjadi regenerasi koruptor.

Pusat Pelaporan dan Analissis Transaksi Keuangan (PPATK) baru-baru ini menemukan 1.800 rekening bernilai hingga ratusan miliar rupiah milik PNS usia muda antara 28 tahun hingga 38 tahun. Dalam kepangkatannya masih tergolong rendah yakni pegawai golongan II hingga golongan IV.

Tentu sangat sulit menemukan logika untuk memahami bagaimana seorang PNS berpenghasilan maksimal Rp 12 juta bisa memiliki simpanan di bank hingga ratusan miliar rupiah. Namun itulah fakta hasil lacakan PPATK sejak tahun 2006. Tidak hanya di pusat pemerintahan namun fenomena itu juga terjadi di seluruh Indonesia dan banyak dilakukan bendaharawan proyek APBN dan APBD.

Modusnya para bendahara proyek mentransfer uang negara ke rekening pribadi atau ke rekening isteri dan anak-anak termasuk para kerabat dengan maksud agar limpah kekayaan “haram” itu tidak mencolok. Transfer biasanya dilakukan menjelang berakhirnya tahun anggaran pada setiap bulan Desember. Anehnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Azwar Abubakar pernah menjelaskan bahwa rupiah miliaran dalam rekening PNS itu merupakan titipan proyek kementerian untuk mencegah pemotongan anggaran di tahun berikutnya.

Dalam pengamatan TubasMedia.Com, apa pun alasan di balik penitipan itu jelas telah terjadi penyalahgunaan. Tidak ada aturan yang membenarkan menyimpan uang negara di rekening pribadi. Penyimpangan seperti itu tindakan kriminal. Dalam hal ini PPATK tidak boleh setengah hati untuk mengusut tuntas temuan itu.

Pengguna anggaran negara diwajibkan segera menyerahkan data rekening yang mencurigakan sebelum ketahuan KPK. Namun tidak hanya monopoli KPK. Pihak Kepolisian dan Kejaksaaan juga saatnya menggunakan asas pembuktian terbalik dalam mengusut rekening-rekening PNS muda yang mencurigakan itu. Para pengguna anggaran negara harus diperiksa dan diminta membuktikan asal usul uang dalam rekeningnya. Bila kepemilikan tidak bisa dibuktikan asal usulnya maka uang tersebut harus dirampas dan diserahkan kepada pemiliknya yakni negara.

Indonesia saat ini telah memiliki undang-undang tentang pencucian uang, jadikan sebagai senjata pamungkas pasti para koruptor bertekuk lutut. Menurut undang-undang pencucian uang, pemberi dan penerima uang milik negara itu jelas masuk kategori kejahatan korupsi maka keduanya harus dijerat. Bila undang-undang difungsikan secara maksimal tentu selain kerugian negara bisa diselamatkan juga para pejabat korup itu banyak yang masuk bui termasuk para politisi pecundang.

Menurut peneliti ICW Agus Sunaryanto, hal ini konsisten dengan yang terjadi pada tahun 2010 kendati jumlahnya untuk tahun ini sudah menurun. Sebab di tahun 2010 ada 336 PNS yang terlibat kasus korupsi. Temuan ini telah dikonfirmasi dengan hasil penelusuran PPATK tentang maraknya rekening gendut PNS muda di berbagai daerah. Hal ini menunjukkan kegagalan pengawas internal pemerintah pusat dan daerah seperti Bawasda dan Irjen dalam mengantisipasi berbagai bentuk penyimpangan. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS