Marak Aksi Politicking

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

DI setiap akhir pekan, pasar modal dan pasar finansial biasanya diramaikan oleh aksi profit taking. Jual beli saham atau mata uang, marak dilakukan oleh untuk sekedar cari untung. Adigium ini nampaknya berlaku juga di panggung politik nasional. Maklum, tahun 2013 para politisi menyebutnya sebagai tahun politik karena setahun kemudian yakni 2014, akan diselenggarakan pilpres dan pemilu legislatif.

Aksi politicking ini bisa terjadi diantara politisi dalam satu parpol, maupun antar parpol. Aksi politickingnya berlangsung cenderung brutal, tak “ber-etika”, saling serang, tebar gosip dan sangat berpotensi menjadi fitnah. Nilai kecerdasan, kecendekiawanan dan kebijaksanaan sama sekali tidak. muncul ke permukaan, meskipun suka dijadikan jargon atau tagline.

Injury time yang sangat memilukan dalam praktek politik di negeri ini. Apa memang harus begitu caranya? Kasar dan jorok. Biarlah publik memberikan penilaiannya. Tapi terus terang, retorika yang seperti itu jauh dari keadaban, tidak memberikan pendidikan politik yang mencerahkan, tapi menyesatkan.

Survey elektabilitas partai maupun figurnya, begitu diumumkan hasilnya jelek, para pihak yang berkepentingan langsung panas dingin, resah, gelisah dan panik. Apalagi jika hasil tersebut disebabkan karena faktor perilaku korup sebagian besar berasal dari oknum elit partai.

Dengan berdalih bahwa perilaku korup itu tidak hanya terjadi di partainya, tapi hujan korupsinya terjadi merata di partai yang lain, maka aksi pembelaan diri dimulai. Ada yang. aksi politickingnya diakukan dengan menuduh bergaya hidup ala sengkuni, ada pula yang mengatakan bahwa anda tidak usah banyak cincong, sok bersih, anda saya selamatkan meskipun anda harus gigit jari tak jadi kuangkat jadi anggota kabinet.

Nah lho, padahal semua kayak sengkuni bukan? Hajar terus, libass, habisi saja. Ala maak… kasar banget ya. Yang membedakan hanya cara menyampaikan. Ada yang sampai matanya melotot dan berteriak-teriak, ada pula yang berwajah memelas, seperti minta dikasihani. Padahal semuanya adalah imitasi, akting saja seperti di sinetron “Tukang Bubur Naik Haji”, karena habis itu, mereka hepeng-hepeng di “setgab” saling bertukar cindera mata atau saling bertukar “mahar”.

Barangkali sambil berujar sudahlah, diantara kita pasti ada yang untung dan ada yang buntung. Biasa itu aksi politicking gaya sengkuni dalam kehidupan politik yang demokratis sering terjadi. Nggak usah banyak dipikirin, yang penting kita sama-sama selamat (paling tidak sementara ini bisa saling menyelamatkan).

Habis itu diakhiri dengan cipika-cipiki sambil menikmati “bubur bang haji sulam” di meja oval. Tahun depan lihat saja dulu. Mudah-mudahan masih ada kesempatan hepeng-hepeng lagi. Harus bisa, yes we can, hehehe. Tapi ada saja yang protes, bang haji Rhoma Irama mengatakan “T E R L A L U.

Karena bang haji mengatakan “terlalu”, maka harapan dan optimisme untuk menjadikan Indonesia lebih baik, lebih maju dan beradab, tetap terbuka luas, asal mau melakukan pertobatan politik.

Semoga para elit politik makin cerdas, cendekia dan bijaksana dan pandai memanfaatkan kecerdasan, kecendekiawanan dan kebijaksanaannya untuk menghasilkan kebijakan publik yang bermartabat dan beradab bagi manusia dan kemanusiaan. Sorry to say. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS