Indonesia Pasar Potensial Narkoba

Loading

Oleh: Marto Tobing

Ilustrasi

Ilustrasi

AWAL tahun 2009 kepolisian berhasil menemukan sebuah rumah pertokoan (ruko) yang dijadikan sebagai pabrik sabu. Untuk mengelabui warga, lantai satu ruko itu dijadikan warung internet padahal pabrik sabu.

Di lantai 3 ditemukan peralatan dan bahan membuat sabu termasuk sabu yang sudah siap jual sebanyak 75 kilogram dengan nilai jual Rp 120 miliar. Tiga tahun kemudian tak jauh dari ruko tersebut kepolisisan dan Badan Narkotika Nasional (BNN) kembali menggerebek sebuah ruko di Taman Palem Mutiara Blok D 8 No.50 dan ditemukan 150 kilogram sabu dalam tumpukan karung soda api. Pabrik sabu ini terungkap setelah polisi menangkap pengedar narkoba tiga warga negara India dan Malaysia pekan lalu.

Menurut Humas BNN Sumirat, pengungkapan berawal atas laporan masyarakat bahwa salah satu properti berupa ruko, disewa oleh salah satu tersangka dari tiga orang tersangka yang ditangkap Direktorat IV Narkoba Mabes Polri.

Saat digrebek dari dalam ruko ditemukan 150 kilogram sabu madu kualitas terbaik. Sudah sekitar tiga bulan ruko ini ditempati para bandar narkoba namun tak ada yang mencurigakan aktivitas mereka. Padahal, lokasinya terletak di pinggir jalan utama dan ramai dari ativitas perdagangan.

Warga hanya mengetahui ruko ini pernah mendatangkan sebuah kontainer yang berisi puluhan karung berisi soda api. Ternyata sabu seberat 150 kilogram itu milik Tan Tjo Wi alias Edison Wijaya, warga negara Malaysia juga salah satu tersangka yang menyewa ruko Taman Palem bersama keluarganya berkebangsaan India, A Yam Bah alias Loita dan Kongrayokasan.

Keterlibatan warga asing dalam peredaran narkoba di Indonesia bukanlah hal baru. Kejahatan narkoba dari tahun ke tahun meningkat hingga 10 persen dan pemakaian tertinggi pada jenis sabu. Dari 2007-2011 pemakai sabu 40 ribu jiwa. Di kalangan pengedar narkoba sabu mempunyai nilai jual yang tinggi hingga Rp 1,5 juta per gramnya. Mendapatkan narkoba dari oknum penegak hukum karena narkoba sitaan ditengarai kembali beredar ke pasaran.

Penjara malah menjadi tempat belajar dan diskusi cara membuat serta cara mengedarkan narkoba yang aman. Maklum saja para pengedar begitu bebasnya menggunakan alat komunikasi handphone tentu saja ada keterlibatan para sipir penjara.

Di setiap pengadilan negeri ratusan pengedar dan pemakai narkoba skala kecil disidangkan. Pemakai narkoba bukanlah pelaku kriminal melainkan penderita atau korban narkoba yang harus direhabilitasi, sesuai dengan UU No.35 tahun 2009. Para pengedar dan pemakai skala kecil seringkali tak mendapatkan perlakuan hukum sesuai dengan amanat undang-undang.

Sejak pemeriksaan di kepolisian, kejaksaan hingga di pengadilan para tersangka narkoba tidak pernah didampingi penasihat hukum atau pengacara. Padahal, pasal 56 KUHP jelas menyebutkan terdakwa yang diancam pidana 5 tahun atau lebih wajib diberikan pendampingan pengacara.

Di setiap pengadilkan negeri berdiri Posbakum yang memberikan bantuan hukum secara prodeo bagi yang tidak mampu. Sialnya, terdakwa umumnya tidak mengetahui akan haknya dan adakalanya terdakwa ditekan agar tidak menggunakan pengacara. Jaringan narkoba internasional telah lama menjadikan wilayah Indonesia sebagai tempat peredaran narkoba. Jumlah penduduk Indonesia yang besar merupakan pasar narkoba yang potensial.

Selain itu wilayah Indonesia yang kepulauan dan dikelilingi laut memudahkan para bandar narkoba internasional untuk mendatangkan barang haram itu dari luar negeri. Baru-baru ini jaringan internasional melibatkan oknum TNI menyelundupkan pil ekstasi sebanyak 1,4 juta butir asal negeri Cina melalui jalur laut. Sersan mayor (Serma) udara, oknum TNI ini berperan memuluskan suplai pil ekstasi tersebut.

“BNN memang agak sulit tapi kebersamaan itulah yang terus kita tingkatkan,” ujar Humas BNN Sumirat merespons pernyataan Kapuspen TNI Laksamana Madya Iskandar Sitompul bahwa “S” oknum TNI itu ditahan dan diperiksa lebih mendalam.

Namun, BNN masih kesulitan mengungkap siapa pemilkik 1,4 juta pil ekstasi tersebut. Tentu saja pemiliknya seorang bandar narkoba kelas kakap. Dibutuhkan modal yang sangat besar untuk mendatangkan sebab harga sebutir ekstasi mencapai Rp 300 ribu, maka dengan demikian 1,4 juta pil ekstasi itu mencapai harga Rp 423, 7 miliar.

Pada 22 Oktober 2007 kepolisian dan BNN berhasil membongkar sindikat narkoba Internasional di sebuah rumah di Jalan Karangsari Blok B 7 Selatan No. 18 Rt.11/Rw.08 Muara Karang Penjaringan Jakut. Rumah ini dijadikan tempat transit sekaligus peracikan sabu-sabu sebelum dipasarkan di wilayah Ibukota hingga manca negara.

Di rumah ini petugas menemukan 19 kilogram sabu cair dan 24 kilogram sabu siap pakai senilai Rp 454 miliar. Rumah ini adalah rumah milik Liunan Kiong alias Leo. Sejak Agustus silam seseorang bernama Beni Indrawan menyewa rumah itu seharga Rp 55 juta selama 2 tahun sejak pertengahan September silam.

Kepolisian dan BNN seringkali membongkar sindikat narkoba, namun cilakanya narkoba bukannya raib dari negeri ini, narkoba masih dengan mudahnya didapatkan. Bahkan bandar narkoba yang sudah dijebloskan ke dalam penjara pun masih dengan mudahnya mengendalikan peredaran narkoba.

Penjara tidak membuat efek jera. Pemakai dan pengedar narkoba di dalam penjara bahkan membuat jaringan baru. Sebab bisnis narkoba merupakan bisnis yang menggiurkan. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS