Indonesia Lahan Empuk Perdagangan Narkoba

Loading

Oleh: S Eka Ardana

H Deddy Suwadi Siregar SH

YOGYAKARTA – Baru-baru ini DIY telah dinyatakan sebagai daerah yang masuk lima besar daerah dengan peredaran narkoba tertinggi di Indonesia. Ke empat daerah lainnya terdiri Jakarta, Medan, Batam dan Kalimantan Timur. Kondisi ini tentu saja mengejutkan dan mengkawatirkan banyak pihak yang peduli dengan persoalan penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang (narkoba) tersebut.

H Deddy Suwadi Siregar SH, praktisi hukum dan juga Koordinator Presedium Gerakan Rakyat Madani (Geram) Yogyakarta mengakui tentang kondisi Yogyakarta yang rawan dalam peredaran narkoba, sekalipun perang terhadap narkoba dalam beberapa tahun terakhir tak pernah berhenti digalakkan.

“Sesungguhnya perang terhadap narkoba tak pernah dilakukan di negeri kita. Akan tetapi, di dalam jaringan internasional, Indonesia telah dipandang sebagai lahan paling empuk dan menggiurkan untuk ‘bisnis narkoba’. Sehingga berbagai cara tetap dilakukan untuk mengedarkan barang haram itu. Dan, Yogyakarta tercatat sebagai daerah yang tidak pernah sepi dari kasus-kasus penyalahgunaan narkoba tersebut,” tegas Deddy ketika ditemui Tubas di Yogyakarta, Senin (21/2).

Deddy yang mantan anggota DPRD Provinsi DIY periode 2004-2009 ini menyatakan, sanksi pidana atau ancaman hukuman merupakan salah satu cara atau bagian dari perang terhadap narkoba tersebut. Pemberian sanksi pidana kepada para pembuat, pengedar, pengguna serta semua pihak yang terlibat dalam penyebaran narkoba cukup berat.

“Ancaman hukuman yang berat itu tentunya diharapkan dapat membendung semakin meluasnya ancaman bahaya narkoba, terutama terhadap generasi muda. Dan, ancaman hukuman itu masih berjenjang, karena disesuaikan dengan golongan-golongannya. Misalnya ancaman hukuman untuk pelanggaran narkotika golongan I lebih tinggi dibanding golongan II. Hal yang sama juga berlaku pada psikotropika,” jelasnya.

Namun, menurut Deddy, hukuman terhadap mereka yang menyalahgunakan narkoba tidak selalu harus memenjarakan atau memasukkannya ke dalam Lembaga Pemasyarakatan. Karena Undang-undang juga mengatur tentang hukuman berupa pemberian kesempatan pengobatan atau rehabilitasi.

Hak Rehabilitasi

Deddy mengatakan, bila kita ingin melihat secara cermat, sebenarnya sebagian besar dari para pengguna narkoba merupakan korban dari bisnis peredaran narkoba yang sudah mendunia. Oleh karena itu proses hukum terhadap para tersangka atau terdakwa kasus narkoba, tidaklah bisa disamaratakan antara pengguna, pengedar dan pemeroduksi.

Terlebih-lebih kepada para pengguna yang pantas digolongkan sebagai korban dari sindikat perdagangan narkoba tersebut.
“Bahkan, baik di dalam UU tentang Psikotropika maupun UU tentang Narkotika, langkah memberikan perhatian terhadap para “korban” narkoba tersebut terlihat jelas dengan adanya ketentuan yang mengatur tentang pengobatan dan rehabilitasi,” ujarnya.

Diuraikan Deddy, perhatian yang manusiawi terlihat jelas pada pasal 37 UU No 5 Tahun 1997 yang menyebutkan: (1) Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban untuk ikut serta dalam pengobatan dan/atau perawatan. (2) Pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada fasilitas rehabilitasi. Kemudian pasal 41 UU No 5 Tahun 1997 menegaskan pula bahwa pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang psikotropika dapat diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalani pengobatan atau perawatan.***

CATEGORIES
TAGS