Hentikan Bantuan Keuangan Negara Kepada Parpol Jika tidak Mau Masa Jabatan Ketum Diatur Oleh UU

Loading

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Jika memang parpol tetap bertahan dan tidak bersedia melakukan perubahan dalam masa kepemimpinan, maka bantuan keuangan yang bersumber dari keuangan negara baik APBN maupun APBD harus dihentikan.

Demikian pernyataan Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas), Sutrisno Pangaribuan  mengomentari sikap sejumlah Pimpinan Parpol yang menolak adanya perubahan masa jabatan Ketua Umum Parpol.

Sebagaimana diketahui, dua warganegara RI, masing-masing Eliadi Hulu warga Nias, Sumatera Utara dan Saiful Salim warga asal Mantrijeron, Yogyakarta mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) terkait kehidupan demokrasi dan politik di Indonesia.

Gugatan itu diterima MKRI pada Rabu (21/6/2023) dan didaftarkan kuasa hukum Leonardo Siahaan.

Gugatan para penggugat bersumber dari telah telah dibacakannya putusan atas permohonan pengujian Undang Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait sistem pemilu yang semula terbuka, dimohonkan diubah menjadi tertutup.

Dalam putusannya, MKRI menolak seluruh permohonan para pemohon, sehingga Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Putusan tersebut sesuai harapan dan keinginan delapan Fraksi DPR RI utusan 8 Parpol yang sempat menyampaikan ancaman evaluasi anggaran dan revisi UU tentang kewenangan, jika MKRI menerima permohonan penggugat.

Namun kedua pemohon menyebut akar masalah  dalam beleid gugatannya adalah karena UU UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik tersebut tidak mewajibkan AD dan ART Parpol mengatur batasan masa jabatan pimpinan Parpol.

Dinasti

Akibatnya  berimplikasi pada kekuasaan yang terpusat pada orang tertentu dan terciptanya dinasti dalam tubuh Parpol. Rancang Bangun UU Parpol menjadikan parpol sebagai organisasi superior tanpa adanya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak internal partai, terutama publik.

Para pemohon menggugat agar Pasal 23 ayat 1 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik yang semula berbunyi: “Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART.”  agar diubah menjadi: “Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART, khusus ketua umum atau sebutan lainnya, AD dan ART wajib mengatur masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut.”

Kendati belum ada putusan MKRI atas gugatan kedua warganegara itu, namun sejumlah Pimpinan Parpol ramai-ramai mengeluarkan pendapatnya agar MKRI menolak gugatan itu.

Yang sudah terdengar suara penolakan gugatan tersebut adalah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Badan Pembina Organisasi Keanggotaan dan Kaderisasi (BPOPKK) DPP Partai Demokrat Herman Khaeron, Ketua DPP PPP Achmad Baidowi, Ketua DPP PDI Perjuangan, Andreas Hugo Pareira, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera.

Menolak Gugatan

Para Pimpinan Parpol ini senada menolak gugatan itu dengan alasan bahwa, tidak seharusnya MKRI mengurus aturan main di internal parpol. Parpol diberikan kemandirian untuk mengatur dirinya dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.

Prabowo menilai hal itu merupakan ranah partai politik. Dia berkata batasan masa jabatan ketua umum partai diatur di internal partai politik sementara Herman menyebut persoalan itu merupakan urusan internal partai dan tak bisa diatur oleh negara.

Akan halnya PDIP mengatakan kalaupun masa jabatan ketua umum harus diatur, maka cukup di AD dan ART Parpol

Mereka serentak berharap Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan gugatan UU Partai Politik terkait masa jabatan ketua umum partai.

Namun suara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) beda. Melalui Juru Bicara DPP PSI Dedek Prayudi, menyatakan setuju ada pembatasan masa jabatan ketua umum Parpol. Parpol adalah ‘rahim’ kehidupan politik dalam sistem demokrasi. Jabatan presiden, gubernur dan walikota yang lahir dari rahim partai politik saja dibatasi, maka wajar jika ketua umum Parpol juga dibatasi.

Tidak Benar

Menurut PSI, penolakan pembatasan masa kepemimpinan dalam parpol dengan alasan karena parpol membiayai dirinya sendiri tidak benar. Negara berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik wajib memberi bantuan keuangan kepada parpol secara bertingkat dan berjenjang. Sehingga dalam APBN/ APBD Provinsi/ Kabupaten/ Kota wajib dialokasikan bantuan keuangan Parpol.

Sejatinya, kata Dedek Prayudi, parpol adalah lembaga milik publik yang inklusif dan memenuhi kaidah dan ketentuan hukum sesuai karakter negara demokrasi Pancasila.

Sehingga kebutuhan dan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara harus menjadi yang pertama dan utama diperjuangkan oleh parpol. Eksklusivitas orang, keluarga atau kelompok tertentu dalam parpol bertentangan dengan Konstitusi Indonesia.

Sutrisno menambahkan, alokasi anggaran untuk bantuan keuangan parpol sebagai bukti, bahwa negara terlibat dalam pengelolaan parpol. Maka parpol memiliki kewajiban mematuhi hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

‘’Pembatasan masa kepemimpinan dalam parpol, menjadi kebutuhan bersama bangsa Indonesia. Praktik demokrasi harus dimulai di dalam parpol sendiri, baru diperjuangkan dan diwujudkan dalam tata kelola pemerintahan,’’ katanya.

Fakta sejarah Indonesia menunjukkan bahwa kekuasaan yang tidak dibatasi berakhir tragis, dipaksa tumbang oleh people power. Maka segala bentuk kekuasaan absolut, termasuk dalam parpol harus diakhiri.

Karena itu lanjut Sutrisno, Kornas meminta kepada MKRI agar mengabulkan permohonan Eliadi dan Saiful sehingga kekuasaan eksklusif, absolut dalam parpol berakhir. ‘’Sebagai pilar demokrasi, maka wujud praktik demokrasi paling nyata adalah pembatasan kekuasaan,’’ katanya. (sabar)

 

 

 

 

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS