Hak dan Kewajiban

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

Ilustrasi

ISTILAH hak dan kewajiban sudah sama-sama kita ketahui pengertiannya. Dalam konstitusi kita UUD 1945, dalam sistem hukum dan perundang-undangan nasional dan hampir dalam semua sistem sosial kita, penggunaan istilah hak dan kewajiban selalu kita temukan. Secara idial, hak dan kewajiban, kedudukannya seimbang, tetapi dalam prakteknya, banyak kita jumpai antara hak dan kewajiban menjadi tidak seimbang.

Dalam norma sosial, norma hukum, norma politik dan norma ekonomi serta norma lainnya, baik bersifat mandatory maupun voluntary, soal hak dan kewajiban ini selalu dirumuskan secara implisit dan eksplisit sesuai keadaan dan kebutuhannya. Membayar iuran sampah dan keamanan di kampung di RT/RW, adalah kewajiban dan lingkungan yang bersih dan aman, adalah hak bagi masyarakat untuk mendapatkannya karena mereka telah memenuhi kewajibannya. Ini contoh sederhana penerapan hak dan kewajiban dalam prespektif norma sosial.

Hak mendapatkan pekerjaan yang layak bagi setiap warga, adalah contoh hak yang bersifat mandatory dan ini dinyatakan secara implisit dan eksplisit dalam norma konstitusi dan hukum sebagaimana dimuat dalam UUD 1945. Dalam konteks ini, negara yang memiliki kewajiban untuk menjaminnya.

Masih banyak lagi contoh yang dapat kita temukan tentang hal terkait dengan masalah hak dan kewajiban ini dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Pertanyaannya, mengapa ketika realita kehidupan, fenomena mengenai hak dan kewajiban tidak dapat terwujud dengan mudah seperti yang diidialkan?

Dari sisi kemanusiaan atau dari sisi fitrahnya, secara alamiah soal hak dan kewajiban selalu ada dan hidup ditengah-tengah masayarakat. Misalnya yang kuat membantu yang lemah dan yang kaya membantu yang miskin.

Disini aspek “hak” terbaca seperti “tersembunyi” di balik kewajiban. Kosa kata tadi tidak pernah ditulis dengan kalimat yang lemah berhak dibantu yang kaya atau yang miskin berhak dibantu yang kaya.

Kalau mau didalami lebih lanjut, maka berarti secara kemanusiaan, kewajiban lebih diutamakan atau lebih dikedepankan dalam aspek kehidupan manusia, sedangkan hak lebih terkesan “disembunyikan”.

Tentu dalam norma sosial semacam ini terdapat sebuah pelajaran yang sangat fondamental agar sepirit dalam kehidupan itu mengutamakan lebih baik memberi daripada menerima, lebih baik tangan di atas daripada tangan di bawah. Inilah dasar-dasar pelajaran yang berharga bahwa hidup itu lebih baik banyak berbuat, berkarya agar senantiasa selalu dapat memenuhi kewajiban, baik besar maupun kecil, baik bersifat materiil maupun sepirituil.

Secara mekanis berarti fenomena tentang hak dan kewajiban biarlah berjalan sebagaimana fitrahnya dilihat dari norma sosial dan kemanusian. Melembaga dalam hati nuraninya, qalbunya dan dalam pola pikir dan pola tindak seseorang daalam kehidupannya. Makanya pada saat kewajiban zakat, infaq dan sodakoh dijalankan oleh umat Islam atau umat lain, di sisi yang berhak menerima, hampir tidak pernah ada yang serta merta menuntut karena secara “mekanis”, umat yang merasa memiliki kewajiban lebih dahulu, telah menjalankan yang menjadi kewajibannya secara ihlas dan secara self assesment, sehingga hampir tidak pernah terjadi persoalan.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, soal hak dan kewajiban menjadi bersifat mandatory karena scr tegas dinyatakan dalam konstitusi dan perundang undangan. Celakanya, sebagai warga negara, umumnya hanya menuntut apa yang menjadi hak-nya, sementara pihak penguasa/pemerintah dari sisi lain dapat segera melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam konstitusi dan perundang undangan.

Mengapa ekspektasi warga negara menjadi demikian?? Ada beberapa hal yang dapat menjadi penyebabnya:1) Masyarakat berpendapat bahwa hak-hak warga negara yang telah diatur dan ditetapkan dalam konstitusi atau peraturan perundangan sudah sepatutnya para penyelenggara negara berkewajiban untuk memenuhi hak warga negara sebagai konsekwensi logis dari pengaturan tersebut.

Secara normatif, penyelenggara negara meresponnya melalui mekanisme legislasi, yaitu dengan membuat berbagai UU dan bentuknya diwujudkan antara lain dalam bentuk alokasi APBN seperti yang telah dilakukan pemerintah bersama DPR mengalokasikan 20% APBN untuk sektor pendidikan.

2) Ekspektasi masyarakat akan hak-haknya sebagai warga negara agar dapat dipenuhi juga disebabkan agar kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh para penyelenggara negara benar-benar dapat direalisasikan, tepat sasaran, tepat jumlah dan tepat waktu.

3) Masyarakat menjadi harap-harap cemas, penuh kekhawatiran kalau apa yang telah menjadi haknya sebagai warga negara tidak direalisasikan. Kehawatiran ini cukup realistis, bukan karena hanya semata-mata menuntut haknya, tapi takut kalau kebijakan dan progam pemerintahnya tidak berjalan optimal, bahkan bisa dikorupsi.

4) Alasan yang satu ini bisa sangat subyektif, yaitu masyarakat memuntut haknya karena para pemimpin secara politis seringkali banyak memberikan janji dan angin surga bahwa kalau terpilih menjadi presiden/gubernur/bupati/walikota/anggota legislatif dan sebagainya, maka biaya sekolah akan gratis, biaya pengobatan akan ditanggung pemerintah, harga BBM dijamin tidak naik, harga kebutuhan pokok dijamin stabil dalam kurun waktu yang panjang.

Janji-janji semacam ini tidak realistis. Yangmemberi janji hanya berfikir sesaat dan nggak rasional dan yg paling “berbahaya” adalah sangat tidak edukatif dan menyesatkan bagi masyarakat.

Dalam konteks berbicara tentang hak dan kewajiban tidak boleh dilakukan secara sembrono, tanpa perhitungan dan tidak bertanggungjawab. Pola berpolitik dengan mengumbar angin surga dan mudah berjanji (“palsu”) harus segera diakhiri. Sepanjang hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tetap ada, maka soal Hak dan Kewajiban juga akan ada dan hidup ditengah- tengah kehidupan masyarakat karena fitrahnya memang demikian. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS