Banyak Faktor Membuat Produk Indonesia Lebih Mahal Dibanding Barang Impor

Loading

Fauzi Azis

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Banyak hal yang menyebabkan produk dalam negeri kalah bersaing, khususnya soal harga dengan produk-produk impor. Dan pemerintah harus dengan serius menyelesaikan seluruh penyebabnya, agar produk lokal dapat bersaing dengan produk impor.

Hal itu dikatakan Pengamat Industri dan Ekonomi, Fauzi Aziz dan Ketua Umum Gabungan Perusahaa Ekspor Ekspor Indonesia (GPEI), Benny Soetrisno yang ditemui tubasmedia.com di Jakarta, Jumat malam.

Kepada Fauzi dan Benny sebelumnya dimintai komentarnya sekitar pernyataan Presiden Jokowi tentang membajirnya produk impor di pasar dalam negeri.

Sebagaimana diberitakan, Presiden Jokowi khawatir Indonesia bisa terkena penjajahan modern karena pasar e-commerce diserbu produk impor murah.

Disebut, 90% produk e-commerce adalah barang impor. Sudah begitu, beberapa aplikasi asal luar negeri memberikan harga promo gila-gilaan untuk barang-barang tersebut, membuat barang impor itu mengancam kehadiran produk lokal karena harganya sangat murah.

Menurut Benny, biaya-biaya non direct yang membuat biaya produksi dalam negeri mahal adalah rendahnya produktivitas pekerja. Dalam satu tahun atau 12 bulan, paling banyak kerja produksi hanya 9 bulan sementara para pekerja tersebut harus dibiayai selama 13 bulan dalam satu tahun.

‘’Dari perbedaan lama kerja dalam satu tahun saja, kita sudah kalah jauh dengan asing, belum lagi dalam satu hari kapasitas produksi para pekerja sangat rendah. Maka produk kita semakin kalah,’’ kata Benny.

Nada yang sama juga diutarakan Fauzi Azis. Menurutnya, banyak faktor yang harus dikaji, kenapa harga barang produksi dalam negeri kalah bersaing dengan barang impor.

Benny Soetrisno

Yang paling klasik menurut Fauzi yang menjadi penyebabnya adalah;

Pertama, sekitar 70% barang produksi dalam negeri dibuat menggunakan bahan baku impor, kemudian volatilitas kurs rupiah terhadap USD atau valuta asing lain yang kuat sangat mempengaruhi harga barang yang diproduksi.

Demikian juga biaya produksi menjadi relatif mahal akibat kurs rupiah yang mahal dan karena itu, produsen cenderung menahan USD daripada mengkonversinya ke rupiah, terutama bagi produsen ekspor.

Suku bunga pinjaman atau bunga pinjaman bank, khususnya untuk modal kerja disebut relatif tinggi, ditambah lagi biaya logistik di Indonesia yang  juga masih tinggi.

‘’Menurut proyeksi Bappenas berada pada angka 14%,’’ kata Fauzi Azis. Hal lain yang menyebabkan mahalnya biaya produksi di Indonesia menurutnya adalah biaya investasi masih relatif tinggi dengan indikasi angka ICOR di Indonesia sekitar 5 dimana importir di Indonesia sebagian dapat menikmati fasilitas kredit ekspor dari pemasok di luar negeri.

Untuk menekan ekonomi biaya tinggi tersebut, Fauzi Aziz mengusulkan, agar pemerintah perlu membuat satu policy framework, dimana investasi, industri dan perdagangan dikembangkan dalam satu ekosistem kebijakan yang tidak terpisah-pisah tapi berada dalam satu kesatuan.

‘’Pemerintah perlu membuat satu policy framework, dimana investasi, industri dan perdagangan dikembangkan dalam satu ekosistem kebijakan yang tidak terpisah-pisah,’’ kata Fauzi menegaskan. (sabar)

 

 

CATEGORIES
TAGS