Fenomena Paradoks Pertumbuhan

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

PERCAYA tidak percaya, ekonomi Indonesia sebagai emerging economy di Asia dikabarkan terus mengalami pertumbuhan. Tahun 2012, pertumbuhannya mencapai 6.23%. Laporan ekonomi & bisnis yang dikutip dari BN No 8338 ada beberapa catatan menarik, antara lain dalam kurun waktu 2012-2016 ekonomi Indonesia diprediksi tumbuh rata-rata pada kisaran 6,4-6,5%.

Indonesia diramalkan akan menjadi salah satu pusat grafitasi kegiatan investasi dan bisnis di Asia setelah China. Per Maret, Purchasing Manufacturing Index (PMI) Indonesia menyentuh angka 51,3. Indeks ini memberikan suatu keadaan bahwa industri manufaktur Indonesia ikut kebanjiran permintaan, baik di pasar domestik maupun ekspor.

Fenomena ini mejadi paradoks, paling tidak bisa dikatakan bahwa ekonomi tumbuh, tapi harus dibayar dengan biaya input yang relatif mahal. Kalau kita lihat ratio antara Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) terhadap ekspor dalam PDB tahun 2012 adalah sebesar 1,37, ini berarti investasi langsung hanya menghasilkan output ekspor 37%.

Fakta ini bisa dibaca dalam dua dimensi, yakni investasi langsung di Indonesia masih high cost sehingga daya saing internasionalnya lemah. Di sisi lain berarti output dari investasi langsung, sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pada situasi yang lain, ratio impor terhadap belanja konsumsi rumah tangga dalam PDB adalah 0,40, ini dapat dibaca bahwa sekitar 40% kebutuhan masyarakat masih dipasok dari barang impor.

Secara matematis berarti ruang yang tersedia bagi produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga di dalam negeri hanya sekitar 20% dari PDB . Fakta ini makin memberikan indikasi bahwa produksi nasional mampu bekerja, namun posisinya berada di bawah tekanan efisiensi dan produktifitas ekonomi yang relatif rendah dan sekaligus mendapat tekanan dari masuknya barang impor di pasar dalam negerinya.

Kondisi ini menyebabkan kapasitas produksi menjadi tidak maksimal. Data yang pernah dirilis berbagai media di waktu lalu memberikan suatu indikasi betapa efisiensi dan produktifitas relatif rendah karena antara lain biaya logistik di Indonesia masih tinggi, sekitar 17% dari biaya produksi. Bandingkan di Singapura hanya 5%, Malaysia 8%, Filipina 7% dan Jepang 5%.

Suku bunga pinjaman di Indonesia masih berada pada kisaran 10-13%. Sementara di negara-negara Asia umumnya berada pada kisaran 5-7%. Net Interest Margin (NIM) di Indonesia masih relatif tinggi, sekitar 6% sementara di negara Asean lainnya hanya sekitar 3%. Kondisi seperti ini yang membuat Menteri Perindustrian menyatakan kegugupannya saat ditanya media beberapa waktu lalu tentang pelaksanaan FTA Asean tahun 2015 dan diamini oleh kalangan pengusaha.

Menarik memang fenomena pertumbuhan tinggi tetapi harus dibayar mahal karena faktor biaya input yang relatif. Inilah fenomena paradoks dalam ekonomi Indonesia. Kita hanya membayangkan bagaimana kalau produktifitas nasional tinggi, berarti peluang pertumbuhan ekonomi nasional bisa lebih tinggi dari proyeksi tadi.

Kita sudah tahu problematiknya dan sudah berkali-kali dibicarakan dalam berbagai kesempatan. Jawabannya pasti semua menghendaki hal yang sama, yakni perlu dilakukan pembaharuan kebijakan (policy reform) mulai dari perbaikan terhadap UU hingga aturan pelaksanaannya. Penyediaan infrastruktur yang berkualitas juga menjadi pilihan satu-satunya yang harus secara bertahap dapat dipenuhi agar Indonesia berhasil menjadi pusat produksi yang berbiaya rendah untuk memenuhi kebutuhan ekspor dan pasar dalam negeri.

Pemerintah pusat dan daerah harus bahu membahu menjawab tantangan tersebut karena efisiensi dan produktifitas ekonomi menjadi kebutuhan bersama. ***

CATEGORIES

COMMENTS