Do More Do Good, Akhirnya Naik Kelas

Loading

Oleh Fauzi Aziz

naik-kelas

ACARA di Kompas TV bertema Do More Do Good Big Baang,  yang dipandu Andy F Noya terus-terang menginspirasi lahirnya judul opini ini. Acara tersebut sangat menarik. Karena itu, penulis mencoba melihat dalam perspektif lain, yakni  naik kelas karena kita do more dan do good. Naik kelas di sini bukan dalam arti seperti yang terjadi di sekolah, tapi lebih diarahkan bagaimana naik kelas dari  pendekatan pembelajaran sebuah bangsa dan negara yang mampu bertransformasi. Transformasi dari emerging economy menjadi negara industri yang maju.

Do more do good adalah dua proses yang harus dilalui agar bangsa dan negara ini mampu bertransformasi dengan benar. Benar strateginya dan tepat pula kebijakan dan program-program yang dilaksanakan. Do more dan do good dengan restu Tuhan, maka langkah kita untuk melakukan transformasi akan bisa membawa bangsa dan negara ini berubah wajah secara substansial.

Maju, mandiri dan berdaya saing. Ketiganya adalah resultante yang kita harapkan. Kapan mulai dan kapan berakhir? Pertanyaan ini dijawab dengan mudah, yakni dimulai dari sekarang dan never ending, karena pembelajaran hakikatnya tidak mengenal garis finish. Long life education. Kapan kita akan sukses atau gagal tergantung prosesnya. Naik kelas dan tinggal kelas juga bergantung pada proses pembelajaran. Jika do more serta do good, maka jalan terang menuju sekses terbuka lebar.

Landasan idiologi Bangsa Indonesia sudah tepat dan benar untuk membuat negeri ini maju, mandiri, berdaya saing, karena setiap tahun naik kelas dengan prestasi yang membanggakan. Naik kelasnya riil, tidak direkayasa, wajar tanpa pengecualian,  karena do more and do good terjadi dan dapat berlangsung di setiap lini, baik secara vertikal maupun horizontal.

Transformasi dari negara terjajah menjadi negara merdeka sudah kita lalui dan Agustus nanti genap berusia 71 tahun. Transformasi menjadi negara demokrasi dan menjalankan desentralisasi dan otonomi daerah sudah berjalan sekitar 18 tahun. Jadi, sebagai bangsa telah mengalami naik kelas berkali-kali. Kini prosesnya sedang berderap mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi. Apakah kita bisa naik kelas. Jawabannya adalah “yes we can”, karena bangsa ini cerdas dan memiliki bakat untuk menjadi bangsa dan negara industri.

Transformasi ini banyak tikungannya dan sejak menjadi negara demokrasi semua merasa bisa untuk mengurus negeri ini. Terjadi persaingan internal dan eksternal yang makin ketat. Di internal, persaingan berlangsung berebut singgasana dari pemilihan ketua RT/RW sampai ke pemilihan presiden. Bongkar pasang sistem kelembagaan juga banyak dilakukan. Tapi, adakalanya kurang disertai dengan latar belakang yang jelas. Yang penting hasratnya terpenuhi demi mengamankan sejumlah kepentingan, baik politik maupun ekonomi.

Mau naik kelas, ongkosnya terlalu mahal jika tidak disertai perencanaan yang baik atau tanpa ada peta jalan, karena di setiap prosesnya banyak biaya yang harus dikeluarkan melalui APBN dan bahkan harus ditambal dengan utang. Posisi kita secara ekonomi belum terlalu kuat, masih gampang goyah jika terjadi gempa ekonomi, karena fondasi dan pilarnya belum kokoh.

Pendek kata untuk naik kelas memerlukan upaya dan pembelajaran. Semoga saja kita selamat sampai tujuan membangun negeri ini agar menjadi negeri yang maju, mandiri dan berdaya saing. Kita tidak boleh menyerah dan menyerahkan diri kepada asing, karena kita mengatakan mereka lebih mampu. Pembelajaran adalah hal yang baik. Jepang, Korsel belajar dari AS. Begitu pula Tiongkok dan India juga mengakui belajar dari AS. Faktanya keempat negara tersebut kini berhasil menjadi kekuatan ekonomi di dunia.

Indonesia segera menyusul sepanjang kita melakukan pembelajaran yang sama. Interes pribadi dalam mengurus negeri ini harus dijauhkan, karena bisa menyebabkan kita bersikap ambigu. Ekonomi Indonesia kini termasuk 17 besar, dan jika tatanannya baik dan benar, akan bisa naik kelas menjadi enam besar.

(Penulis adalah pemerhati masalah sosial, ekonomi dan industri)

CATEGORIES
TAGS