Buying Power, Target Strategis Progam P3DN

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

P3DN

BUYING power yang seringkali diwujudkan dalam purchasing power parity berakselerasi begitu cepatnya sehingga dia menjadi faktor penyumbang pertumbuhan ekonomi di negeri ini dari tahun ke tahun. Sementara itu, progam P3DN yang menjadi propertynya pemerintah, dinamikanya berjalan seperti siput merayap sangat lamban, seperti tidak bertenaga.

Yang rajin hanya Ali Markus pemilik PT Maspion berteriak dengan dialek China-nya “Cintailah Produk Indonesia”. Dia pasti mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk berteriak seperti itu di stasiun televisi swasta nasional. Pengorbanannya begitu luar biasa demi menjaring buying power yang makin tinggi dari masyarakat Indonesia, terutama golongan kelas menengah yang saat ini berjumlah 134 juta jiwa.

Tahun 2010, PDB per kapita Indonesia baru sekitar US$2,963. Di tahun 2011 naik menjadi US$3,270 per kapita/tahun. Para ahli ekonomi dan para ahli marketing melihat PDB sebesar itu adalah buying power, yang kalau bisa dimobilisasi dengan tepat, akan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dan menjadikan industri dapat bekerja dengan kapasitas yang optimal.

Kinerja yang seperti itu bisa menjadi indikator bahwa negara bersangkutan bisa dikategorikan sebagai yang masuk jajaran negara berpendapatan menengah. Dan biasanya negara tersebut pertumbuhan ekonominya akan berakselerasi setelah PDB per kapitanya mencapai sebesar itu.

Best practice-nya dialami oleh Korea Selatan dan juga China. Semoga Indonesia mengalami hal yang sama, asal semua faktornya bekerja dengan tingkat efisiensi yang optimal, termasuk tingkat korupsinya harus bisa diberantas. Masyarakat kelas menengah pada umumnya memiliki pendapatan “menganggur” (discretionary income) yang cukup memadai.

Pemerhati di bidang marketing berpendapat bahwa rule of thumb yang berlaku umum adalah mereka yang memiliki discretionary income sekitar 1/3 dari keseluruhan pendapatan. Makin membaiknya buying power adalah sebuah fenomena ekonomi yang oleh para pelaku ekonomi akan direspon dengan berusaha menangkap peluang tersebut dengan cara memperbesar impor barang yang diperlukan oleh konsumen, atau para pelaku ekonomi melakukan investasi langsung dengan dua cara yaitu memperluas usaha yang sudah ada atau melakukan investasi baru.

Bagi pemerintah, melekat tanggung jawab untuk meresponnya, yang paling lazim menetapkan kebijakan makro ekonomi melalui instrumen moneter dan fiskal agar aksi yang direspon pengusaha nasional/asing menyehatkan neraca pembayaran dengan menjaganya agar posisi neraca transaksi berjalan tidak defisit.

Progam P3DN yang notabene menjadi instrumen pemerintah, posisinya sekarang ada di mana? P3DN, dari aspek mikro/marketing dimaksudkan juga untuk menangkap peluang bisnis besar agar nilai belanja konsumsi masyarakat yang besarnya mencapai 55 persen dari PDB bisa dibelanjakan untuk membeli produk lokal.
Kebijakan ini sebenarnya baik. Tapi merealisasikannya sangat sulit, tidak semudah membalik telapak tangan. Namun demikian ada beberapa poin tips yang bisa dilaksanakan guna mensukseskan program P3DN.

Pertama, kelas menengah yang berpendidikan dan berpengetahuan memiliki global mindset yang tinggi. Mereka lebih rasional dalam memilih dan membeli barang yang dibutuhkan. Mereka lebih kritis dalam menilai produk yang ditawarkan para pemasok. Para pemasok pasti paham merespon kebutuhan tersebut, tentunya harus mampu menyediakan produk dengan kualitas bagus, harga yang rasional dan bisa men-deliver dalam kondisi apa pun. Ini yang standar, tentu ada kiat lain yang bisa dilakukan sesuai kebutuhan dan kemampuan finansialnya.

Kedua, jika pemerintah ingin mensukseskan progam P3DN, mindset kebijakan dan programnya harus canggih sebagai layaknya marketing agency yang andal dan profesional. Dari segi pendanaan dibutuhkan biaya yang tidak kecil di setiap tahun. Kita tidak tahu berapa APBN/APBD dialokasikan melaksanakan progam P3DN yang berkualitas dan efektif.

Ketiga, ada empat pilar kegiatan yang dapat diselenggarakan pemerintah/pemda secara konsisten, yaitu: promosi, pemberian stimulus, advokasi dan edukasi. Stimulus yang kita anggap berhasil adalah dalam hal pembelian sepeda motor, di mana konsumen bisa membelinya hanya dengan DP yang kecil, sudah bisa membawa pulang sepeda motor yang dibelinya secara kredit.

Stimulus ini tidak memperingan tingkat suku bunga kredit konsumsinya, tapi hanya uang mukanya saja yang dipermudah. Efeknya nyata bagi industri sepeda motor di dalam negeri, yaitu penjualannya tiap tahun mencapai tujuh juta unit. Bahwasanya ada ekses lain, itu sebenarnya hal yang biasa.

Keempat, cara promosi yang dilaksanakan oleh pemerintah tidak strategik dalam arti hanya sibuk mengajak dan membayari para produsen termasuk UMKM untuk ikut pameran. Hampir semua K/L di pusat dan pemda provinsi/kabupaten/kota menyediakan anggaran pameran. Seharusnya anggaran yang disediakan pemerintah sebagian digunakan untuk mensitimulasi para konsumen, baik konsumen dalam negeri mupun manca negara.

Lihat saja Singapura, dengan progam great sales-nya, semua diarahkan untuk memanjakan konsumen. Malaysia juga demikian melalui progam nasionalnya yang kesohor Truly Asia. Namun Indonesia, kagak punya progam nasional yang profesional seperti itu, padahal anggaran yang dialokasikan pemerintah/pemda kalau digabungkan, jumlahnya pasti besar. Kita juga tidak punya progam multimedia yang canggih. Kalaupun punya, paling kecil saja seperti nebeng di acara Bukan Empat Mata milik Tukul Arwana.

Kalau memang serius, mau tidak mau mindset dan strategi bisnis memasarkan progam P3DN harus lebih canggih dan profesional. P3DN sekali lagi adalah produk property yang bisa memiliki nilai jual kalau strateginya dikemas dengan baik.

Kelima, bahwa pada akhirnya progam P3DN itu bukan hanya sekedar dikemas secara emosional untuk menggantikan kedudukan barang impor di pasar atau bahkan menghilangkannya sama sekali. Tapi secara rasional, harusnya dikemas agar posisi produk nasional digdaya di pasar dalam negeri dan di pasar internasinal. Buying power itu tidak hanya ada di Indonesia, tapi ada di mana-mana di Asean dan di belahan dunia lain. Hari ini mereka baru suka makan CPO, batubara, nikel dll.

Tapi mereka belum pernah tahu dan kenal apalagi beli, kripik singkong, jin belel, jaket kulit dari Garut dan banyak lagi. P3DN spiritnya adalah membangun struktur ekonomi yang kuat di dalam negeri yang berorientasi kepada penciptaan nilai tambah yang sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia.

P3DN pada ujungnya harus bermuara kepada semakin meningkatkan daya saing produk dan jasa nasional untuk menghasilkan surplus ekonomi dan surplus neraca pembayaran Indonesia. Catatan penting yang terekam melalui media, ternyata perusahaan PMA yang beroperasi di Indonesia, 70 persen laba yang diperolehnya masih dibawa kembali ke luar negeri dan hanya 30 persen yang di re-investasi.

Itupun kita belum yakin apa yang 30 persen itu dipakai untuk membangun pabrik baru atau tidak. Jangan-jangan sebagian dipakai untuk membangun gudang-gudang baru untuk menampung barang impor yang akan diperdagangkan di dalam negeri. ***

CATEGORIES
TAGS