Jutaan Anak Telantar Butuh Perhatian

Loading

Oleh: Anthon P. Sinaga

Anak Telantar

Kita tentu kaget membaca berita di surat kabar, bahwa menurut data Kementerian Sosial tahun 2011, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan ada 4,8 juta anak telantar di Indonesia, yang sebagian besar berada di kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan. Jutaan anak-anak telantar ini butuh perhatian, karena sangat rawan menjadi korban pelecehan dan kekerasan.

Padahal, kita terkenal sebagai bangsa dermawan, yang suka menolong bangsa lain yang kesulitan. Antara lain belakangan ini, kita ingin membantu pengungsi suku bangsa Rohingya yang terusir dari negara Myanmar, dan tidak diterima di negara Bangladesh. Kita pahlawan untuk bangsa lain, tetapi tidak untuk bangsa sendiri.

Menurut Sekretaris KPAI, M. Ikhsan, sebanyak 2,5 juta dari 4,8 juta anak telantar itu, adalah korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual, dan 232.000 lainnya menjadi anak-anak jalanan. Yang lebih mengenaskan lagi, selain 4,8 juta anak telantar itu, masih ada 12,3 juta anak yang tergolong hampir telantar. Artinya, bila tidak ada yang menolong, atau ekonomi keluarganya semakin terpuruk, maka jumlah anak telantar pun akan terus membengkak.

Dikatakan, dari jumlah anak yang tidak terurus sedemikian besar, baru 175.000 anak yang bisa mendapat alokasi anggaran dalam berbagai program perlindungan, pengentasan, dan pemberdayaan. “Itu pun jatah setiap anak, hanya Rp3.000 per hari,” kata Ikhsan.

Dengan alokasi anggaran serendah itu, sulit memaksimalkan program perlindungan anak di lapangan. Padahal, menurut UUD 1945, negara wajib memelihara anak telantar. Anehnya lagi, negara kita memiliki satu Kementerian Sosial di tingkat pusat dan di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Selain di pusat, ada Dinas Sosial di daerah yang menangani para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS).

KPAI sebagai lembaga negara yang ditugaskan untuk mengawasi pelaksanan amanat UUD 1945, tidak bisa berbuat banyak, karena terbatasnya anggaran dan kebijakan yang melindungi anak. Adanya Kementerian Sosial dan dinas-dinas sosial, serta beberapa lembaga perlindungan anak yang dibentuk oleh negara, sesungguhnya bisa menjamin tidak terjadinya lagi masalah-masalah anak telantar. Namun, keberadaan lembaga-lembaga ini nyaris tidak terasakan oleh anak-anak korban kekerasan dan korban kemelaratan, karena tidak didukung oleh kebijakan pimpinan dan birokrasi negara yang maksimal.

Tanggung Jawab Negara

Kita tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh kebijakan pimpinan dan birokrasi negara yang sangat responsif terhadap perlindungan anak-anak bangsanya. Presiden Korea Selatan, Lee Myung-bak, seperti dikutip kantor berita Perancis, AFP, secara khusus menyampaikan permintaan maaf kepada segenap warganya, karena terjadi beberapa kali penculikan dan pemerkosaan terhadap anak-anak di negaranya.

“Atas nama pemerintah, saya meminta maaf kepada rakyat,” katanya dalam sebuah kunjungan tak terjadwal ke markas polisi nasional. Permintaah maaf itu, bisa diterjemahkan sebagai wujud penyesalan seorang kepala negara, karena tidak mampu melindungi warganya, khususnya anak-anak.

Kalau di sini, di negara kita yang berazaskan Pancasila, jangankan presiden, menteri yang diangkat khusus sebagai pembantu presiden pun tidak pernah merasa bersalah atau menyesal atas ketidakmampuannya menangani masalah yang menjadi tanggung jawabnya.

Sudah menjadi pemandangan sehari-hari banyaknya anak-anak jalanan di Jakarta yang tergolong anak-anak telantar. Mereka rawan menjadi korban kekerasan atau diperalat oleh pihak tertentu untuk berbuat kekerasan, dan bahkan kejahatan, sehingga masa depan anak bangsa ini jelas suram. Mereka pulalah yang kelak menjadi cikal bakal pelaku kriminalitas yang tidak lagi menghargai kemanusiaan yang adil dan beradab.

Sesungguhnya, negara harus berterima kasih kepada perorangan atau lembaga sosial masyarakat (LSM) yang menunjukkan kepeduliannya terhadap anak jalanan dan anak telantar. Sehingga, mereka membuat sekolah-sekolah anak telantar dan melatih keterampilan, dan bahkan membuat rumah singgah, yang sebenarnya menjadi tugas negara.

Pembagian kue anggaran belanja negara pun, harus lebih proporsional antara biaya membangun kehidupan dasar bangsa, seperti anggaran perlindungan anak, dengan anggaran untuk pencitraan negara dan mengejar prestasi.

Kementerian Sosial harus lebih gencar lagi membuat proyek-proyek kemanusiaan, tidak kalah dengan proyek-proyek pencitraan negara dan kejar prestasi oleh Kementerian Pemuda dan Olah Raga, seperti membangun stadion-stadion olah raga yang biayanya triliunan rupiah dan banyak pula dikorupsi.

Ingat kasus Wisma Atlet untuk SEA Games di Palembang, kasus pusat pendidikan olahraga di Hambalang, dan kasus suap-menyuap pembangunan fasilitas olah raga untuk PON di Pekan Baru. Semuanya jadi “pasien” KPK. Kalau anak-anak Indonesia sudah semakin banyak telantar, siapa kelak untuk bertanding olah raga? ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS