Berlomba-lomba Rebut Kemewahan

Loading

Oleh: Anthon P. Sinaga

Ilustrasi

Ilustrasi

SETIAP hari kita dijejali spanduk, pamflet, atau iklan yang menawarkan kenikmatan hidup dengan berbagai jenis hunian mewah. Bahkan, dengan sajian audio visual di televisi yang menggambarkan area atau resor superblok yang menawan dan menggiurkan.

Di dalam satu area terdapat tempat hunian dengan arah pandang (view) gunung, hamparan sawah atau laut, lengkap dengan tempat belanja (supermall), kolam renang dan tempat rekreasi, tempat olahraga dan kebugaran. Bahkan, ada yang dilengkapi dengan kompleks pendidikan, lapangan golf dan danau buatan atau wisata air.

Para pengusaha properti semacam ini terus gencar mempromosikan kepada calon konsumen agar berlomba-lomba merebut hunian mewah. Hampir di seluruh kota Jakarta, Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang, pembangunan properti superblok ini memperoleh dana pembiayaan besar dari perusahaan finansial, termasuk dunia perbankan.

Padahal kredit untuk belanja modal seperti pendirian pabrik pengolahan bahan baku atau industri barang–barang jadi, barang perkakas, suku cadang atau barang modal untuk industri lainnya, tidak semudah mendapatkan sumber keuangan dari perusahaan finansial atau dunia perbankan.

Pada saat pembangunan berbagai properti atau apartemen mewah tersebut, memang banyak mempekerjakan tenaga buruh bangunan. Namun, setelah proyek pembangunan selesai, maka para penghuni kelak hanya membutuhkan para pembantu rumah tangga, tukang kebun, tenaga pembersih (cleaning service) dan tenaga-tenaga security atau satuan pengamanan.

Berbeda dengan pendirian pabrik atau industri barang modal yang bisa menampung ratusan dan bahkan ribuan tenaga kerja dalam jangka panjang dan berkesinambungan, serta efek ganda dari keuntungan hasil produksi barang jadi atau setengah jadi untuk ekspor atau untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Menjelang peringatan ulang tahun Republik Indonesia ke-66 ini, sudah seharusnya kita semua sadar untuk kembali ke proporsi yang menguntungkan bangsa untuk jangka panjang. Kita sudah terlalu banyak diajarkan untuk hidup konsumtif dan menikmati kemewahan sesaat, atau hanya untuk berjangka pendek.

Mulai 17 Agustus 2011 ini, kita harus terbangun dari buaian kenikmatan dan kemewahan itu untuk kembali ke awal dan tujuan perjuangan para founding fathers kita untuk mencapai kemakmuran bangsa secara keseluruhan. Ironis, kalau masih banyak rakyat miskin dan lapar, padahal sumber daya alam kita cukup kaya dan berlimpah.

Rawan Penyelundupan

Saat ini, pantai utara Jakarta, khususnya dari mulai kawasan Ancol, Pluit, Pantai Indah Kapuk, sampai kawasan pantai kota Tangerang, terus gencar direklamasi untuk perumahan-perumahan mewah. Ada kapal-kapal speedboat yang bisa langsung parkir di garasi rumah, sehingga kelak dari sisi keamanan menjadi rawan penyelundupan dari laut. Pengawas pantai kita belum secanggih pembajak di film-film. Belum lagi reklamasi pantai mengakibatkan daya dukung alam yang semakin rendah, sehingga bisa mengancam Jakarta dengan banjir lebih besar lagi.

Alangkah lebih menguntungkan apabila reklamasi pantai Jakarta, Tangerang, Bekasi sampai Karawang, dijadikan untuk kawasan industri atau untuk pembangunan pabrik-pabrik pengolahan bahan baku segar dari sumber daya alam Indonesia yang kaya, untuk dijadikan barang ekspor atau kebutuhan dalam negeri.

Keuntungan ekonomi jangka panjang akan lebih sebanding dengan kemungkinan berkurangnya daya dukung alam, termasuk bisa mengurangi kepadatan lalu lintas darat dengan lalu lintas laut.

Seperti berita utama SKM Tubas edisi 178 yang lalu, dengan judul Hentikan Ekspor Kelapa Segar, di mana negara kita yang punya sumber bahan baku kelapa terbesar, justru negara lain yang lebih banyak menikmati hasilnya. Bahkan, mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris menyebut contoh Malaysia yang tidak memiliki kebun kelapa, tapi sudah dikenal di dunia internasional sebagai produsen minyak kelapa terbesar dunia.

Tidak hanya jenis kelapa segar dari Indonesia yang diolah menjadi minyak kelapa, air kelapa, kopra dan santan, tetapi jenis kelapa sawit yang berasal dari Indonesia juga telah diolah menjadi berbagai jenis produk turunannya, hingga menjadi bahan mahal untuk kosmetika dan lain-lain.

Sehingga, Indonesia yang punya sumber daya alam, tetapi Malaysia, Cina, Thailand, Korea, Taiwan dan Singapura yang punya nama di dunia, dan menikmati nilai terbesar dari bahan baku tersebut. Seperti pepatah Medan, “Sapi puya susu, tapi Benggali yang punya nama,” karena warga Indonesia keturunan India inilah yang memasarkan susu segar ke rumah-rumah penduduk. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS