Aktor-aktor Politik, Tak Mampu Bangkitkan Kepercayaan Rakyat

Loading

Laporan: Redaksi

ilustrasi

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Demokrasi Indonesia masih menyimpan banyak persoalan, yang jika tidak diatasi secara segera bisa menimbulkan keraguan umum mengenai kebaikan demokrasi. Meski rakyat bisa saja punya andil dalam menciptakan problem demokrasi, masalah utamanya tidaklah pada”sisi permintaan”, sebaliknya terletak pada kelemahan “sisi penawaran” dari ketidakmampuan aktor-aktor politik untuk membangkitkan kepercayaan rakyat.

Hal itu disampaikan Yudi Latif, Ketua Harian Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila dalam diskusi bertema, “Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila di Era Reformasi” rangkaian dari acara Ibadah Syukur Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional kepada T.B. Simatupang di Gedung Lemhannas Jakarta, Selasa (26/11) malam.

Pembicara lain dalam diskusi itu, Ketua Umum PGI Pdt. Dr. Andreas Yewangoe dengan moderator, Imam Prasodjo.
Yudi Latif mengatakan, misi besar reformasi untuk menghadirkan pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, masih jauh dari harapan. Proses konsolidasi demokrasi terhambat oleh proses “demokratisasi” (perluasan dan pendalaman korupsi). Praktik korupsi melanda seluruh lembaga dan instansi kenegaraan, serta merembet dari pusat hingga daerah.

Dikatakan, seiring dengan laju korupsi, wajah negeri, seperti tercermin dari warta media, menampakkan buruk rupa: kemiskinan keteladanan, kehilangan keadilan dan perlindungan hukum, kesenjangan sosial, keretakan jalinan sosial, perluasan tindak kekerasan, kejahatan dan premanisme, gurita narkoba, kerusuhan di wilayah tambang dan perkebunan, kecelakaan transportasi, serta kerawanan sarana publik.

Menurut Yudi Latif, untuk mengatasi krisis multidimensi tersebut, kita perlu kembali ke titik “normal” (berlakunya norm). Dengan bantuan perspektif sosiologi dalam menjelaskan krisis sosial, prioritas terpenting dalam usaha pemulihan normalitas (keteraturan) itu adalah peran kepemimpinan dalam mengaktualisasikan kapasitas transformatif dari kekuasaan. Kepemimpinan yang dapat mengakhiri gerak sentripetal dari kekuasaan yang bersfifat narsistik menuju gerak sentrifugal yang berorientasi pada kemaslahatan umum.

Mengenai Pancasila

Sementara itu, Andreas Yewangoe mengemukakan, antara lain, ada satu episode dalam sejarah kita, khususnya ketika kita memasuki era reformasi, Pancasila seakan-akan dilupakan. Bahkan banyak pejabat pemerintah yang segan menyebutkan Pancasila dalam pidato. Rezim Orde Baru, yang memanfaatkan Pancasila guna mempertahankan kekuasaan yang penuh KKN benar-benar mengorbankan Pancasila.

Dikemukakan, ketika kekuasaan MPR direduksi, maka sekaligus juga Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) ditiadakan. “Lalu kita tidak tahu bagaimana persisnya arah pembangunan kita sekarang ini. Menurut saya, kita perlu mengangkat kembali pemahaman dan jiwa pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila,” katanya.

Sebelumnya, Kasad Jenderal TNI Budiman sebagai keynote speaker dalam diskusi tersebut mengemukakan, menghadapi kompleksitas permasalahan dewasa ini, dibutuhkan orang-orang seperti T.B. Simatupang, yang terus berjuang semasa hidupnya. Sebagai generasi penerus kita berkelanjutan melanjutkan perjuangan almarhum.

Setelah menguraikan sejarah perjuangan Pahlawan Nasional itu pada sebelum dan sesuah kemerdekaan, Kasad mengatakan, T.B. Simatupang telah memberikan kontribusir yang besar untuk pembangunan Indonesia, terutama di bidang kemiliteran dan kemasyarakatan.

Letjen (Purn) Dr. T.B. Simatupang, yang akrab disapa Pak Sim, lahir 28 Januari 1920 di Sidikalang, Provinsi Sumatera Utara. Setelah menyelesaikan SMP di Sumatera, dia melanjutkan pendidikan setingkat SMA di Pulau Jawa. Setamat SMA, dia memasuki Akademi Militer Belanda di Bandung.

Semasih sekolah di SMP, dengan guru-guru berkebangsaaan Belanda, semangat kebangsaan sudah memasuki pikiran Pak Sim. Bahkan, ia hampir diusir dari sekolah, karena dipergoki membaca pidato Presiden Soekarno yang berjudul “Indonesia Menggugat”. Lulus Akademi Militer, ia memulai karier di kemiliteran. Kariernya memeningkat pesat dan pada 1949, ia diangkat menjadi Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP). Tahun berikutnya menjadi KSAP menggantikan Jenderal Soedirman yang meninggal dunia.

Ia ikut membangun Tentara Nasional Indonesia sejak awal, ketika Tentara Keamanan Rakyat dideklarasikan pada 1945. Sumbangsihnya termasuk menuliskan Sumpah Prajurit dan memimpin penyusunan Sapta Marga. Setelah pensiun dari TNI pada 1959 dengan pangkat Letjen, dia melanjutkan pengabdiannya di berbagai bidang kemasyarakatan, di antaranya, pendidikan dan gereja. (ender)

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS