Akhiri Pertikaian

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Ilustrasi

Ilustrasi

BERISIK, muak, mual begitu kira-kira ungkapan emosional yang bisa kita tangkap di ruang publik kalau kita melihat hiruk-pikuknya para elite dalam alam kehidupan yang demokratis. Berisik karena yang kita temui sehari-hari adalah tontonan permainan kata-kata dari yang paling jorok sampai yang baik-baik dan sopan.

Muak karena kita disuguhi pernyataan-pernyataan yang nggak jelas ujung pangkalnya dan ujung-ujung kita menjadi mual beneran. Itu ditataran elite, di tataran akar rumput juga terjadi hal yang serupa, hanya pertikaianya rada berbeda tipis. Di akar rumput pertikaian yang terjadi menjurus ke tindakan yang brutal dan destruktif, padahal sebelumnya hampir jarang kita temui.

Teori, pendapat telah banyak diulas dan disampaikan oleh para ahli kenapa pertikaian sering terjdi dimasyarakat, baik dikalangan elite maupun masyarakat biasa. Dan banyak juga telah ditawarkan bentuk solusi untuk mengatasinya. Sebagai orang awam menjadi ikut bingung dibuatnya dan suka juga berspikulasi sendiri penuh khawatir apakah bisa disudahi pertikaian antar manusia yang sekarang sering terjadi.

Binatang saja perilakunya tidak seperti itu, kecuali kalau dia lapar atau kepepet kalau dia dizalimi oleh binatang yang lain. Semut bisa rukun dan kompak bahkan rasa persaudaraannya tinggi. Bahkan bisa disebut memilki rasa senasib sepenanggungan yang luar biasa kuatnya. Lah manusia yang dikaruniai akal, sikap dan perilakunya kok bisa lebih brutal dari binatang.

Pertikaian terjadi ada yang mengatakan pendidikannya tidak memadai, kehidupan ekonominya tidak berkecukupan sehingga hidupnya selalu dalam keadaan tertekan dan mudah marah sehingga wajar kalau mudah emosi dan jika tidak dapat dikendalikan bisa mengundang pertikaian kalau eksistensi terusik atau diusik baik sengaja atau tidak disengaja.

Tapi ternyata teori ini tidak sepenuhnya benar karena manusia yang dikarunia kecerdasan intelektual yang tinggi sampai bergelar S1, S2, S3 di depan dan di belakang namanya serta kehidupan ekonomi bagus, sikap dan perilakunya suka nyleneh juga mudah marah, tersinggung dan kemudian bertikai juga dengan cara adu mulut sampai adu jotos.

Yang pasti kita semua harus sadar dan sepakat bahwa segala macam bentuk pertikaian dalam skala kecil maupun besar harus bisa dicegah dan diakhiri karena hasilnya pasti merugikan semua pihak yang bertikai. Tidak ada sebuah pertikaian menghasilkan manfaat, kesia-siaan justru yang terjadi.

Bahkan akan menambah keruh dan menghasilkan bibit pertikaian baru. Aneh rasanya kalau orang tidak rindu dan cinta kepada hidup yang damai dan tentram. Menjadi lebih aneh lagi kalau ada orang yang secara tulus mau mencegah dan melerai sebuah pertikaian malah menjadi korban. Semuanya itu adalah sebuah realita yang kita hadapi.

Yakinlah bahwa fenomena seperti itu pasti harus bisa diakhiri dan dari 240 juta jiwa penduduk Indonesia saat ini tidak sampai 10% yang hobynya suka bertikai atau mungkin kurang dari 1%. Risau boleh tapi optimis harus bahwa pertikaian akan bisa diakhiri. Derajatnya harus kita kurangi setahap demi setahap dari yang semula gemar bertikai, kita didik mereka kearah misalnya boleh adu mulut atau sekedar berbeda pendapat tapi tidak boleh sampai bertikai.

Tahap berikutnya adalah kita latih kesabarannya agar bisa menahan diri dan tidak mudah terpropokasi. Berikutnya adalah para propokatornya harus ditangkap dan dihukum karena masyarakat bisa brutal akibat kelakuan mereka. Yang pintar, yang bergelar dan menjadi elit jangan suka nipu, tidak jujur, suka bohong apalagi terlihat secara kasat mata di depan umum yang tidak mempunyai nilai tuntunan kecuali hanya sekedar tontonan yang tidak memiliki nilai pendidikan apa-apa.

Para elite, para cerdik pandai harus bisa menempatkan dirinya sebagai panutan. Kelompok masyarakat ini harus bisa berkomunikasi dan berinteraksi secara natural dengan masyarakat biasa, tidak mengisolasi diri, eksklusif dan mangatur jarak. Progam pendidikan dan pelatihan unt memanusiakan manusia menjadi sesuatu yang penting untuk dijalankan secara berkelanjutan dan ini berlaku bagi kelompok masyarakat manapun tanpa memandang bulu, karena pertikaian itu selalu terjadi di dalam kelompok masyarakat yang pandai maupun yang bodoh, yang kaya maupun yang miskin. Kapan saja bisa terjadi karena kepribadiannya rapuh akibat tidak pernah dilatih.Yang penting kita tidak boleh bersikap masa bodoh, emangnya gue pikirin dan sebagainya.

Kalau ada keburukan harus dicegah dan ditindak. Kalau ada kebaikan berikan penghargaan sepantasnya tidak harus dalam bentuk materi. Kalau biasa membuat janji usahakan penuhi janji-janji tersebut, jangan omdo (omong doang). Yang modern belum tentu menghasilkan kebaikan, tetapi yang konvensional dan tradisional belum tentu tidak menghasilkan kebaikan.
Senyuman yang tulus, mudah empati dan suka membantu kalau ada saudara, tetangga atau kerabat yang kena musibah ringan/berat dalam bentuk apapun dengan cara yang santun dan tulus.

Bersosialisasi dengan siapapun, di kampung, di perkumpulan dan di kantor dalam suasana yang penuh tawa dan canda tanpa basa-basi, kecuali hanya dengan satu niat untuk mempererat persaudaraan dan perkawanan. Dan menjadikan semua sebagai sahabat sejati. Peristiwa demi peristiwa yang sering mengakibatkan terjadinya pertikaian sebenarnya kalau mau disederhanakan penyebabnya adalah soal hak dan kewajiban.

Celakanya haknya masyarakat yang secara ekonomi lemah secara sadar atau tidak sadar suka diambil oleh masyarakat yang secara ekonomi kuat (soal tanah, soal tempat usaha dan lain-lain). Celaknya lagi pejabat publik yang seharusnya bersikap netral, pada kenyataannya dalam beberapa hal justru bersikap memihak pada yang kuat dan tidak memberikan perlindungan yang proporsional.

Yang lemah tidak bisa berburu rente, yang kuat kapan saja bisa berburu rente. Karena itu kalau ditelaah lebih dalam persoalannya bukan masalah isu keadilan, tetapi lebih banyak menyangkut masalah pendidikan. Dengan pendidikan kesempatan untuk hidup sejahtera menjadi lebih terbuka. Keteladan adalah satu hal, santun, sabar, syukur juga satu hal. Keadilan adalah sesuatu yang abstrak dan relatif, pendidikan adalah sesuatu yang kongkrit dan kalau aksesnya dibuka seluas luasnya,maka kesemapatan untuk mengubah nasib menjadi terbuka.

Jadi, pendidikan dalam arti luas akan menjadi jawaban untuk mengatasi konlik, pertikaian yang harus kita akhiri. Mengakhiri sebuah pertikaian dan mengubahnya menjadi kedamaian dan ketentraman bisa diselesaikan selain menggunakan media pendidikan, dapat dilakukan dengan cara membangun semangat persaudaraan, persahabatan yang tulus tanpa sekat-sekat politik, jabatan, ras maupun golongan karena dimata Tuhan kita semua adalah saudara dan sesudah mati yang dibawa secara pisik adalah hanya selembar kain putih dan amal kebaikan kita tatkala hidup di dunia.***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS