“World Economic Forum”

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Fauzi Azis

Fauzi Azis

SEPANJANG mata memandang di gerbong Kereta Api Argo Muria jurusan Jakarta-Semarang, terlihat olehku di layar kaca sebuah iklan (mudah-mudahan tidak salah baca), tahun ini 2011 Indonesia akan menyelenggarakan World Economic Forum (WEF). Kalau benar, berarti Indonesia adalah salah satu negara yang akan menyelenggarakan forum tersebut seperti yang selama ini diadakan di Davos, Swiss.

WEF di Davos yang tiap tahun digelar adalah forum tempat kongkow-kongkownya para tokoh politisi kaliber dunia, bahkan beberapa kepala negara hadir, di samping para CEO perusahaan di dunia untuk membahas persoalan ekonomi dunia.

Politisi dan pebisnis kalau sudah bertemu dan berkumpul, biasanya tidak akan lepas untuk membicarakan hal ikhwal yang berkaitan dengan masalah “kepentingan” dari hal yang bersifat obyektif sampai kepada hal yang bersifat subyektif. Isu sentral yang mengemuka tidak akan pernah lepas dari masalah globalisasi dan perdagangan bebas yang fokus pembicaraannya berkisar pada isu sistem keuangan dunia, investasi dan perdagangan, serta isu terkini tentang krisis pangan dan energi.

Forum WEF sifatnya voluntir dan bisa disebut juga sebagai media pencerahan tentang perkembangan ekonomi yang terjadi di dunia pada dewasa ini. Pada kesempatan tersebut tidak tertutup juga dibahas secara ad hoc di antara para tokoh dunia yang hadir tentang berbagai kemungkinan peluang kerjasama ekonomi dan bisnis.

Kepentingan itu bisa bersifat obyektif dan bisa jadi bersifat subyektif. Maklumlah namanya juga “kepentingan”. Karena itu, andaikata benar Indonesia akan menyelenggarakan WEF, maka itu adalah sebuah upaya yang wajar-wajar saja karena kalau dilihat dari geo-ekonomi, negara kita memang pantas menggelar forum tersebut untuk mengakselerasi pembangunan ekonominya sebagaimana telah direncanakan dalam MP3EI.

Namun demikian, penyelenggaraan WEF di Indonesia patut diberikan catatan-catatan sebagai berikut.

Pertama; bahwa semangat untuk mengakselerasikan pertumbuhan ekonomi nasional harus mengedepankan kepentingan nasional, dalam pengertian tidak dimaksudkan untuk mengobral kekayaan sumber daya alam untuk diserahkan kepada pihak asing. Investasi penting, tapi jauh lebih penting bilamana investasi yang kita lakukan menghasilkan kemandirian ekonomi dan menjadikan negeri ini semakin berdaulat secara ekonomi, bukan semakin tergadaikan secara ekonomi.

Kedua; yang diperlukan Indonesia sesungguhnya ada yang lebih mendasar, yaitu menyepakati arsitektur dan bangun sistem ekonomi nasional yang lebih selaras dengan jiwa pasal 33 UUD 1945. Jadi yang dibutuhkan bukan menyelenggarakan WEF, tapi lebih penting menyelenggarakan Forum Rembug Nasional untuk merumuskan arsitektur dan bangun sistem perekonomian nasional yang cocok dan sesuai dengan kebutuhan kita, yang kemudian dituangkan ke dalam UU tersendiri, yaitu UU tentang sistem perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial.

Ketiga; terkait dengan masalah kesejahteraan sosial berarti kita sekaligus membicarakan bagaimana mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan adalah akibat dari sistem ekonomi yang kita bangun, yaitu ekonomi kapitalis liberal. Kemiskinan tercipta oleh kebijakan-kebijakan yang tidak pro mereka. Yang kita butuhkan untuk membuat penduduk miskin terbebaskan dari kemiskinan adalah menciptakan sebuah lingkungan yang memungkinkan mereka berkembang dengan baik.

Begitu mereka mampu memanfaatkan energi dan kreatifitas mereka, kemiskinan akan lenyap dengan sangat cepat. Kemiskinan adalah kondisi kehidupan yang memiliki banyak wajah. Kemiskinan harus didekati dari berbagai jurusan dan tidak ada pendekatan yang dapat dianggap tidak penting. Kebijakan semacam BLT (bantuan langsung tunai) bukan instrumen yang tepat karena tidak memiliki nilai edukasi dan advokasi.

Kebijakan yang lebih tepat adalah mengangkat orang miskin dari jurang kebodohan dan kenujuban. Oleh sebab itu, memberikan kesempatan luas kepada mereka untuk mengenyam pendidikan, jauh lebih mulia daripada sekedar memberi BLT atau memberikan subsidi harga barang kebutuhan pokok yang ujungnya tidak akan pernah dapat menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan ketergantungan yang berkelanjutan.

20% APBN harus dialokasikan untuk pendidikan sejatinya dimaksudkan untuk mengatasi masalah pendidikan dari saudara kita yang miskin. 20% dari Rp 1.200 triliun lebih kira-kira mencapai jumlah sekitar Rp 250 triliunan, suatu angka yang masif dan jumlah ini kalau dialokasikan dengan tepat tidak digembosin pasti akan menghasilkan output dan outcome yang optimal untuk mengangkat kehidupan orang miskin.

Keempat; pembangunan yang hakekatnya mengandung makna perubahan adalah sebuah proses transformasi kemanusiaan, tidak hanya semata-mata bertujuan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Kelemahan paling besar dalam menjalankan kebijakan ekonomi berdasarkan mekanisme pasar dan dipertegas lagi dengan membiarkan berlakunya sistem ekonomi kapital, telah menyebabkan manusia yang menggeluti dunia bisnis digambarkan sebagai mahluk satu dimensi dengan tujuan tunggal yaitu memaksimalkan keuntungan.

Inilah dampak yang perlu diperhitungkan dan tidak ada salahnya perlu dilakukan tindakan korektif di mana kebijakan ekonomi yang baik adalah kebijakan yang dapat melahirkan transformasi kemanusiaan selain pertumbuhan ekonomi. Manusia bukan robot pencetak uang. Manusia adalah sosok mahluk hidup yang berdimensi banyak.

Sistem ekonomi yang paling cocok buat Indonesia bukan ekonomi liberal, bukan pula ekonomi yang mendewakan perdagangan bebas. Sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berketuhanan. Yang meninggikan derajat manusia dan kemanusiaan. Sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang lebih mengedepankan rasa persatuan dan kesatuan untuk melahirkan kekuatan ekonomi yang lebih mandiri dan berkedaulatan, tanpa harus menafikkan kerjasama internasional. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS