Toilet Alam Masih Merajalela di Jakarta

Loading

Oleh: Anthon P Sinaga

ilustrasi

ilustrasi

PEMERINTAH Provinsi DKI Jakarta, terus memprogramkan pembangunan rumah sehat dalam proyek kampung deret di Jakarta. Setelah selesai membangun sejumlah rumah deret di daerah Tanah Tinggi, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu, kini dilanjutkan lagi pembangunan rumah deret di RW 05 Kelurahan Petogogan, Jakarta Selatan, dalam rangka penataan perkampungan padat di Jakarta.

Di Tanah Tinggi telah dibangun kampung deret dengan konsep rumah instan sehat sederhana (risha). Konsep dan teknologi yang sama diterapkan pula di Petogogan dan kampung padat lainnya di Jakarta. Ukuran rumah diseragamkan menjadi 30 meter persegi atau 36 meter persegi, dimana setiap rumah mendapat bantuan dana dari anggaran Pemprov DKI sebanyak Rp 1,5 juta per meter persegi.

Sebenarnya, selain perbaikan rumah kumuh untuk tempat berteduh, tidur dan makan, yang tidak kalah mendesak untuk diatasi saat ini, adalah soal toilet alam yang masih merajalela di Jakarta. Jamban-jamban terpanjang di alam bebas, masih dapat disaksikan di tepi-tepi sungai, serta masih banyak pula yang buang hajat sembarangan di lahan-lahan terbuka. Ini menunjukkan peradaban masyarakat yang masih rendah, serta belum menyadari bahwa perbuatan itu menjadi sumber penyebar penyakit diare, muntaber dll, bagi lingkungan sekitarnya.

Peserta World Toilet Summit 2013 dalam pertemuannya di kota Solo awal Oktober lalu, mensyinalir bahwa masih ada 2,6 juta orang di dunia yang tidak memiliki akses terhadap toilet yang bersih dan aman. Di Indonesia mungkin masih jutaan orang, karena soal toilet belum dianggap kelengkapan pokok dari suatu hunian, apalagi di perkampungan padat di Jakarta dengan tapak perumahan yang terbatas.

Yang menyedihkan lagi, menurut data kondisi sanitasi global saat ini, hampir 2.000 anak mati setiap hari, karena penyakit akibat buruknya sanitasi. Penyakit yang banyak menyerang masyarakat golongan kurang mampu ini, sebenarnya bisa dicegah dengan sanitasi yang bersih dan aman. Mungkin anggaran untuk Kartu Jakarta Sehat, bisa disisihkan guna membangun toilet yang sehat dan aman dari panas terik serta hujan.

Peserta konferensi toilet dunia di kota Solo itu, menghasilkan Deklarasi Solo (Solo Declaration) yang mendorong dan memberdayakan masyarakat agar meninggalkan kebiasaan buang air di alam terbuka, melalui program sanitasi dan higienitas, serta meningkatkan kualitas toilet umum dan pribadi di kota, pedesaan, sekolah, tempat ibadah, tempat wisata, pasar, permukiman padat, serta sarana transportasi.

Ketua World Toilet Organization, Jack Sim pada kesempatan itu mengatakan, perbincangan tentang toilet harus terus digaungkan agar masyarakat lebih peduli pada toilet dan tergerak untuk mencari solusi. Sedangkan Ketua Asosiasi Toilet Indonesia, Naning Adiwoso mengatakan, sanitasi itu merupakan kebutuhan, bukan pilihan. Kita tidak bisa menunggu kesadaran, karena saat ini dunia sudah dalam kondisi kritis sanitasi.

Sebenarnya, Jakarta sebagai ibu kota negara, harus bisa menjadi teladan bagi kota kota lain, terutama pedesaan yang masih rendah pengetahuan tentang sanitasi. Di pedesaan pun, masih ada orang yang harus bawa galah pada saat buang hajat di alam terbuka, untuk mengusir hewan pemangsa tinja. Demikian pula di kota-kota seperti di Jakarta, masih ada yang menjadikan sungai atau saluran air, sebagai jamban keluarga. Tidak bisa dibayangkan keadaan Jakarta, apabila sungai-sungai dan lahan terbuka (toilet alam) yang penuh tinja itu meluap sewaktu banjir. Inilah tantangan Pemprov DKI untuk program penyehatan masyarakat pada masa- masa mendatang.

Pembangunan IPAL

Sebagian besar sanitasi kota di Indonesia, termasuk di Jakarta, hanya bertumpu pada septic tank, cubluk, bahkan banyak yang buang air besar di sungai, kebun atau lahan terbuka. Perumahan yang agak teratur memang sudah membangun septic tank, tetapi masih banyak yang belum memenuhi standar. Misalnya, konstruksinya tidak baik atau jaraknya terlalu dekat dengan sumur atau pengambilan air tanah dari tetangga, sehingga menyebarkan bakteri atau wabah penyakit bagi lingkungan.

Oleh karena itu, pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), yakni kolam penampungan limbah rumah tangga terpusat, merupakan kebutuhan mendesak. Artinya, semua rumah tangga di suatu kawasan atau zona lingkungan, air limbahnya disalurkan ke instalasi pengolahan, tidak perlu lagi membuat septic tank sendiri – sendiri. Hal ini dapat pula diterapkan di kawasan perumahan real estat yang sudah teratur, agar ada satu IPAL untuk semua rumah tangga.

Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto seusai membuka Hari Habitat Dunia 2013 di Jakarta hari Kamis (24/10) lalu, mengakui perhatian pemerintah terhadap sarana sanitasi, seperti IPAL domestik dan industri, masih rendah. Dari 500 kabupaten/kota di Indonesia, hanya 11 kota yang memiliki IPAL, antara lain Jakarta, Medan, Solo, Bandung, Banjarmasin, Yogyakarta, Denpasar dan Manado. Itu pun belum mencakup seluruh wilayah kotanya.

Sebagai contoh Jakarta, dari 15 zona rencana pembangunan pengolahan limbah terpusat, baru terdapat satu zona, yakni IPAL Setiabudi, yang secara persentase baru mencakup 3,5 persen dari keseluruhan rencana. Bahkan, Djoko Kirmanto mengatakan, Jakarta sebagai ibu kota negara, pengelolaan limbah terpusatnya masih tergolong jorok. Memang, kalau kita lewat Jln Sultan Agung Manggarai atau Jln Rasuna Said Kuningan, bau tinja dari IPAL Setiabudi masih menusuk hidung.

Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), penyediaan sistem pengolahan air limbah terpusat di Indonesia secara nasional baru 1 persen, jauh di bawah Malaysia 38 persen, Thailand 34 persen, Vietnam 14 persen dan Filipina 7 persen.

Kapan Jakarta bebas dari toilet alam? Jawabannya ada di alam pikiran DPRD DKI Jakarta yang sudi mendukung program pro-rakyat Jokowi-Ahok. Jangan suka menjegal! ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS