Terpidana Mati Sempat Bertahan 10-15 Menit sebelum Nafas Terakhir

Loading

tembak

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Terpidana mati setelah dieksekusi, sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir masih sempat bertahan selama 10 hingga 15 menit. Oleh karena itulah pemerintah didesak agar melakukan evaluasi terhadap tata cara eksekusi hukuman mati dengan mengakui hak terpidana atas hidup tidak dalam siksaan.

Desakan itu dilontarkan Puri Kencana Putri, Jum’at (13/02/15) di Jakarta, selaku aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) terkait derasnya pelaksanaan hukuman mati pada masa pemerintahan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo belakangan ini..

Ungkapan KontraS itu juga dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan proses eksekusi hukuman mati tidak menjamin ketiadaan rasa sakit bagi terpidananya, dan tidak bisa disimpulkan sebagai bentuk penyiksaan serta tidak melanggar hak atas hidup seseorang adalah bentuk kecatatan hukum.

Menurut Putri, keputusan MK yang dijadikan pembenar dalam tata cara eksekusi terhadap terpidana mati memiliki kegagalan dalam membangun ruang edukasi publik dan jaminan non-diskriminatif atas dua hak fundamental yang harus dijamin keberlangsungannya oleh negara.

Dia menyoroti, bahwa dalam eksekusi terhadap enam terpidana mati pada 18 Januari 2015, beredar kabar bahwa para terpidana sempat bertahan 10 hingga 15 menit hingga dinyatakan meninggal dunia. “Rasa sakit yang didera terpidana selama 10-15 menit itu tidak pernah menjadi pertimbangan negara dalam membuka ruang evaluasi atas praktik hukuman mati di Indonesia,” tandasnya.

Diisyaratkan KontraS agar Komisi Yudisial terutama Mahkamah Agung dan sistem peradilan di bawahnya untuk mengedepankan independensi, menggunakan instrumen hukum nasional yang selaras dengan mekanisme hukum HAM Internasional yang menyediakan ruang bagi setiap orang untuk mengakses keadilan.

Selain itu, terdapat pengingkaran jaminan kebebasan beragama, beribadah dan berkeyakinan ketika eksekusi dilakukan kepada salah seorang terpidana Marco Archer beragama Katolik, yang tidak mendapatkan ‘the last sacraments’ sebagaimana harus dimiliki setiap penganut agama Katolik.

“Protes keras telah dilayangkan kepada pemerintah Indonesia melalui Pastur Patrick Edward Burrows selaku pendamping spiritual Marco Archer,” jelas Putri..

Kementerian Hukum dan HAM beserta Polri, Ombudsman RI dan Mahkamah Agung didesak harus mengevaluasi menyeluruh terhadap maraknya praktik rekayasa kasus, termasuk didalamnya penyiksaan dan vonis yang tidak mengedepankan rasa keadilan tersangka, pemalsuan dokumen, serta usia terpidana.

KontraS mendorong lembaga eksekutif terutama Presiden RI untuk menghentikan argumentasi tidak transparan dalam menggunakan hak prerogatifnya (grasi) untuk memeriksa kasus yang telah divonis hukuman mati. (marto tobing)

CATEGORIES
TAGS