Sudah Siapkah SDM Indonesia Menuju MEA?
Oleh: Efendy Tambunan
PERSAINGAN terbuka SDM antarnegara ASEAN akan terjadi dalam MEA 2015. Kompetisi SDM antarnegara ASEAN bisa menjadi tantangan atau ancaman bagi pekerja Indonesia. Jika masyarakat Indonesia tidak siap menghadapi persaingan terbuka ini, kemungkinan besar MEA akan menjadi ancaman dan mimpi buruk bagi pekerja Indonesia.
Pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana kesiapan SDM Indonesia menyambut MEA 2015. Apakah upaya peningkatan kualitas SDM sudah tercermin dalam APBN dan APBD 2013? Dalam APBN dan APBD 2013, alokasi anggaran untuk pendidikan sekitar 20 persen tetapi sebahagian besar habis untuk biaya operasional pendidikan.
Kompetensi pekerja dalam MEA diukur dari keahlian khusus yang dimiliki. Sektor-sektor yang membutuhkan keahlian khusus, antara lain sektor layanan bisnis, jasa profesional, jasa konstruksi, jasa distribusi, jasa pendidikan, jasa lingkungan, jasa kesehatan, jasa transportasi maritim, jasa telekomunikasi, dan jasa pariwisata.
Kondisi geografis Indonesia dan sebaran demografi penduduk yang tidak merata menjadi kelemahan dan sekaligus menjadi tantangan. Berdasarkan penelitian penulis, daerah pedalaman di Kalimantan Timur dan di Papua Barat mempunyai kualitas SDM yang sangat rendah dibandingkan dengan kualitas SDM di Pulau Jawa. MEA tahun 2015 akan menjadi ancaman berat bagi masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman.
Ketika penulis melakukan pengabdian pada masyarakat di daerah pedalaman Kalimantan Timur, pemuda karang taruna membutuhkan pelatihan bagaimana menservis sepeda motor. Karena sepeda motor menjadi andalan di pedalaman, kerusakan sepeda motor sangat menganggu mobilitas mereka sementara bengkel sepeda motor tidak tersedia.
Di wilayah perkotaaan, industri jasa sangat berpengaruh terhadap penciptaan lapangan kerja. Pada satu sisi, pertumbuhan industri jasa sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dan kualitas SDM. Di sisi lain, kualitas SDM sangat dipengaruhi oleh kualitas pendidikan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Sistem pendidikan di Indonesia dari SD hingga SMA tidak diarahkan supaya para siswa berpikir kritis, kreatif dan mandiri. Demikian juga guru tidak dibekali cara mengajar supaya siswa bergairah dan bersemangat belajar. Kurikulum pendidikan nasional sarat dengan hafalan dan hanya berorientasi pada nilai akhir kelulusan. Alhasil, siswa yang lulus dari SMA kurang mandiri, kritis dan kreatif.
Demikian juga sistem pendidikan di tingkat perguruan tinggi tidak jauh berbeda dengan sistem pendidikan di tingkat SD hingga SMA. Kurikulum pendidikan tinggi tidak juga membuat mahasiswa berpikir kritis, kreatif, dan mandiri. Dari pengalaman penulis sebagai staf pengar di perguruan tinggi, pendidikan softskills tidak mendapat banyak ruang karena kurikulum yang disusun konsorsium keilmuan tidak diarahkan bagaimana supaya mahasiswa dapat bekerja sama, bertanggung jawab penuh, berpikir kritis, kreatif dan mandiri tetapi lebih pada penguasaan ilmu semata.
Demikian juga pelatihan yang dilakukan oleh Balai Latihan Kerja dibawah Kementerian Tenaga Kerja tidak ditujukan supaya peserta pelatihan menjadi seorang profesional (keahlian khusus) tetapi lebih ditujukan supaya mereka memiliki ketrampilan dasar. Keahlian khusus dapat diperoleh melalui pelatihan berkesinambungan dan membutuhkan pendampingan intensif dan jam terbang tinggi. Pemerintah daerah juga turut menyelenggarakan pelatihan tetapi lebih bersifat proyek.
Penulis pernah menggagas suatu training untuk masyarakat di Kalimantan Timur. Tujuan pelatihan ini adalah menciptakan seorang mekanik alat berat yang masih banyak dibutuhkan di wilayah Kaltim. Sasaran pelatihan adalah warga Kaltim yang sudah lolos seleksi. Trainer untuk pelatihan ini berasal dari trainer mekanik alat berat dari perusahaan tambang batubara ternama. Mereka sudah bersedia melatih masyarakat Kaltim dengan gaji rendah. Persiapan sudah dilakukan dengan membuat proposal berdasarkan kurikulum dari Australia. Ketika proposal disampaikan kepada pihak pemda, pihak pemda tidak berminat dan tidak bersedia mendanai pelatihan tersebut.
Berdasarkan survey penulis ke sejumlah daerah, pelatihan yang diselenggarakan dan digagas oleh pemda kurang bermutu. Sudah menjadi rahasia umum, sejumlah pemda berlomba lomba membangun gedung dan membeli peralatan untuk pelatihan tetapi tidak mempersiapkan trainer yang profesional. Alhasil, pelatihan lebih bersifat proyek dan para trainer yang terlibat kurang profesional sehingga kualitas siswa yang sudah dilatih tidak sesuai dengan standar kualitas yang diharapkan.
Apa yang bisa diandalkan dan disiapkan Indonesia menuju MEA yang hanya tinggal 2 tahun lagi? Walaupun sangat terlambat, dibutuhkan strategi brilian dan aksi nyata untuk mengejar ketertinggalan kualitas SDM. Untuk mendukung strategi dan aksi nyata, harus dilakukan sejumlah upaya.
Pertama, pemerintah bersama pihak swasta mengalokasikan dana pelatihan dalam jumlah besar. Kedua, menyelenggarakan pelatihan bersertifikat dalam skala masif untuk semua sektor jasa yang termasuk dalam MEA. Ketiga, memberikan insentif pajak bagi semua perusahaan yang ikut berpartisipasi aktif dalam melakukan pelatihan kepada karyawannya. Keempat, pemerintah harus menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pebisnis dan jaminan kepastian hukum untuk berusaha. ***
(Dosen Teknik Sipil UKI dan Direktur Toba Borneo Institute)