Industri Bergantung Bahan Impor

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

TAHUN 2012, sektor industri ikut menyumbang defisit neraca perdagangan sebesar US$ 23,57 miliar. Hal ini terjadi akibat nilai ekspornya sebesar US$ 111,14 miliar lebih kecil dibanding nilai impornya, yakni US$ 139,71 miliar. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa defisit dalam transaksi berjalan tahun 2012 sekitar 93,75 persen disumbang oleh defisit dalam neraca perdagangan produk industri.

Menteri Perindustrian dalam acara seminar yang diselenggarakan Apindo dengan tema “Dunia usaha maju, Indonesia Kuat. Menperin mengatakan 90 persen dari total impor industri merupakan impor bahan baku dan barang modal. Publik pasti bertanya, apakah industri yang tingkat ketergantungan impor bahan baku dan barang modalnya tinggi hanya terjadi di Indonesia.

Dan apakah salah kalau tingkat ketergantungan industri terhadap bahan dan barang impor tinggi? Menjawabnya tentu tidak mudah karena harus ada kajian tersendiri untuk menemukan jawabannya.Yang pasti ini berkait dengan masalah isu kebijakan nasional. Kalau Kemenperin pasti punya komitmen penuh mengembangkan industri di Indonesia.

Tapi kalau pemerintah, rasanya tidak sepenuh hati untuk mengembangkan industri dalam negeri. Pemerintah lebih fokus ke hal-hal yang bersifat makro yakni pertumbuhan, inflasi, nilai tukar, neraca pembayaran,soal subsidi. Kemenperin berupaya menjawab tantangan yang ada, yaitu melalui progam hilirisasi atau kalau pada zaman Orba kita kenal dengan istilah kebijakan substitusi impor.

Kebijakan ini relatif berhasil karena pemerintah diperbolehkan menerapkan kebijakan proteksi yang ketat, melalui instrumen tarif tinggi dan tata niaga (larangan dan kuota impor). Instrumen ini dijalankan atas amanat GBHN produk MPR. Pusat-pusat wilayah pertumbuhan industri dikembangkan, meskipun tidak serta merta berhasil.

Ketika zaman kejayaan Indonesia sebagai eksportir migas mengalami kemunduruan, pemerintah mengubah kebijakan substitusi impor menjadi kebijakan promosi ekspor (export lead growth) dengan tujuan agar devisa ekspor migas yang makin menurun dapat tergantikan oleh ekspor non migas yang makin meningkat.

Strateginya adalah broad spectrum, apapun yang kita bisa produksi harus bisa diekspor. Hasilnya dapat dibanggakan, yaitu posisi ekspor non migas menjadi andalan penyumbang devisa ekspor nasional ( 2/3 seluruh hasil ekspor berasal dari sumbangan ekspor non migas).

Kebijakan yang menyertainya adalah penerapan drawback dan duty excemtion. Pengembangan kawasan berikat baik di level kawasan dan pemberian fasilitas EPTE (Enterport Produksi Tujuan Ekspor) di level korporasi. Kebijakan ini mempermudah masuknya bahan dan barang impor untuk menghasilkan barang ekspor. Mengurangi ketergantungan impor dan membangun industri dengan kebijakan substitusi impor pada dewasa ini tidak mudah di kala kebijakan proteksi sebagai dasar bagi pengembangan industri sudah “diharamkan”.

Impor bahan baku dan barang modal untuk kebutuhan produksi dan investasi di bidang industri sudah menjadi keniscayaan. Dihambat salah dan dibebaskan salah. Kondisi delematis ini terjadi oleh beberapa hal yang menjadi penyebabnya, pertama, sejak pasca krisis ekonomi 1998, sistem ekonomi Indonesia sudah sangat liberal. Liberalisasi perdagangan menjadi panglimanya. Kedua, kebijakan makro ekonomi yang dilaksanakan oleh pemerintah ternyata lebih mendorong meningkatnya investasi portofolio ketimbang berkembangnya investasi di sektor riil.

Sektor jasa-jasa yang tumbuh sebagai penghela pertumbuhan ekonomi sejak 1998. Selama 10 tahun lebih, sektor jasa-jasa tumbuh secara agregat antara 6-10% lebih dan sektor riil/tradable hanya mampu tumbuh antara 4-6%. Ketiga, penyediaan infrastrukturnya sangat terbatas dan ekonominya berbiaya tinggi sehingga daya saingnya rendah. Keempat, industri pada dasarnya tidak akan bisa hidup dalam iklim yang tidak kondusif dan miskin dukungan infrastruktur.

Membangun industri adalah menciptakan nilai tambah dan membangun daya saing industrinya, bukan menghilangkan impor yang nyaris tidak mungkin. Kebijakan yang afirmatif harus tercermin dalam sistem regulasi nasionalnya. RUU perindustrian diharapkan dapat menjawab kebutuhan itu. RUU perindustrian semangatnya adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan memberikan koridor hukum bagi pengembangan industri, bukan sekedar investasi di bidang industri.

Membangun industri bukan hanya sekedar mendirikan pabrik. Kalau hanya mendirikan pabrik, semangatnya sama dengan hanya sekedar berinvestasi di sektor produksi. Yang terjadi selama ini adalah bukan membangun/mengembangkan industri, tetapi hanya sekedar mengembangkan investasi di sektor industri.

Tantangan ke depan adalah FTA, baik dalam lingkungan Asean atau di kawasan lain. FTA pada dasarnya hanya bicara dua hal, yakni investasi dan perdagangan dan syaratnya adalah bebas hambatan. Masuk dalam kaukus FTA, maka Indonesia harus berhasil membangun iklim bisnisnya yang paling kompetitif , ekonominya berbiaya rendah dan pelayanannya yang sangat efisien (just in time services).

Reformasi ekonomi China yang dirintis Deng Xiaoping tahun 1979, banyak perubahan terjadi di negeri tirai bambu itu. Tahun 1980 ketika Deng mendeklarasikan Shenzhen menjadi Zona Ekonomi Eksklusif, secara spektakuler Shenzhen mengalami perubahan yang mendasar. Tahun 1980-2004 jumlah penduduknya naik dari 13.000 menjadi 11 juta orang. Ekonominya selama 1980-2004 mengalami kenaikan yang dahsyat, rata-rata 28 persen, yang pada tahun 1980 baru sekitar US$32,5 juta menjadi US$41 miliar tahun 2004.

Ekspor Shenzhen mencapai US$101,5 miliar tahun 2005 atau sekitar 13 persen dari total ekspor China. Shenzen tumbuh 126 kali lipat, jauh lebih besar dari Singapura dan menjadi satu-satunya kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia (Kishore Mahbubani,The New Asia Hemisphere. The irrestible shift of global power to the east).

Realitas semacam itu, yang regional dan global ekonominya sudah berbasis pada perdagangan bebas. Oleh sebab itu, pemerintah bersama DPR harus bersikap tegas dengan memilih dua isu kebijakan, yakni pertama, apakah pilihannya hanya sekedar mempromote pembangunan pabrik/investasi di Indonesia; atau membangun atau mengembangkan industri;atau kombinasi di antara keduanya dengan catatan, kita harus fokus ke sektor yang menurut kita bakal berprospek bagus. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS