Stop, Pembahasan RUU Perkelapasawitan

Loading

KELAPA SAWIT – Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto didampingi Direktur Jenderal Industri Agro Panggah Susanto memaparkan potensi industri kelapa sawit di Indonesia disaksikan Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Pertanian Amran Sulaiman pada Rapat Kerja dengan Badan Legislasi DPR Rangka Pengharmonisan RUU Perkelapasawitan di Gedung DPR, Jakarta, 17 Juli 2017.-tubasmedia.com/ist

 JAKARTA, (tubasmedia.com)  – Kementerian Perindustrian mengusulkan agar pembahasan Rancangan UndangUndang (RUU) tentang perkelapasawitan tidak perlu dilanjutkan.

Pasalnya, implementasi norma pengaturan di bidang perkelapasawitan saat ini sudah berjalan dengan baik melalui pelaksanaan tugas dan fungsi antara Kementerian/Lembaga terkait.

“Kami berpendapat bahwa peningkatan kinerja perkelapasawitan nasional perlu dilakukan melalui penajaman tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga termasuk BLU Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP – KS) serta forum kerjasama Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC),” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pada Rapat Kerja dengan Badan Legislasi DPR RI dalam rangka Pengharmonisan RUU Perkelapasawitan di Gedung Nusantara I, Jakarta, Senin (17/7).

Menperin menegaskan, pihaknya sebagai instansi yang berwenang dalam pembinaan sektor industri, termasuk industri pengolahan kelapa sawit, telah melakukan analisis atas urgensi pembentukan RUU tentang Perkelapasawitan berdasarkan kriteria dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dari hasil analisis tersebut, tidak ada kekosongan hukum.

“Pengaturan terkait perkelapasawitan dari hulu sampai hilir pada level UU sudah diatur secara lengkap dan berjalan dengan baik, sehingga tidak ada lagi kekosongan hukum yang perlu diatur lagi pada level UU,” paparnya.

Adapun regulasi yang sudah berjalan tersebut, antara lain UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup.

Menurut Airlangga, pengaturan dalam bentuk UU terhadap suatu komoditas tertentu akan berimplikasi memasuki kewenangan sektoral, mengingat pembagian urusan pemerintahan dilakukan dengan membagi ruang urusan secara proses sehingga akan beririsan.

“Selain itu, sektor perkelapasawitan memiliki karateristik yang hampir sama dengan komoditas perkebunan lainnya sehingga tidak perlu diatur secara khusus,” tuturnya.

Oleh karena itu, RUU tentang Perkelapasawitan berpotensi tumpang tindih dengan Peraturan  Perundang-undangan yang sudah ada dan menambah kerumitan dalam implementasinya. Sebagai contoh, perizinan untuk Usaha Industri Pengolahan.(ril/sabar)

 

CATEGORIES
TAGS